47. Dua Generasi Terkubur

2.1K 44 0
                                    

Ji Bun betul-betul merasa putus harapan. Kalau dia tidak bertemu dengan Suco Ngo Siang, sejak tadi tentu dia sudah pergi bersama Ui Bing. Kini dua generasi terkubur sekaligus di dalam liang yang sama.

Dia pernah berulang kali mengalami bencana kematian namun kali ini dia betul-betul putus asa, kejadian gaib tak mungkin terjadi lagi. Manusia, memangnya mungkin dia keluar dengan menerobos bumi. Dengan lunglai dia duduk mendeprok di atas tanah, tiada yang dipikirkan lagi karena dia tahu berkelebihan untuk memikirkan sesuatu dalam keadaan seperti ini. Tanpa merasa jari-jari tangannya meraba juga buntalan di kantongnya, dimana Hoat-wan pemberian Suthayco Ban Yu-siong dia simpan. Dalam hati dia sudah berkeputusan bila dirinya tak tahan menghadapi siksaan hidup ini biarlah menghabisi jiwa sendiri dengan pil racun ini.

Nasib manusia memang sukar diramalkan, siapa pernah menduga dikala kepandaian silatnya sekarang sudah mencapai taraf yang sedemikian tinggi, harapan menuntut balas tinggal soal waktu saja, ternyata dia harus mengalami peristiwa tragis ini. Dari seorang yang sudah putus asa, semua perasaan cinta, benci, suka duka sudah kehilangan arti sama sekali.

Waktu berjalan tanpa mengenal kasihan rasa lapar dan dahaga mulai merangsang dirinya. Apalagi dalam keputus-asaan seperti ini, rasa lapar dan dahaga itu lebih terasa lagi. Tak lama, ia tidak tahan lagi, ia pikir, nyawa sendiri bakal berakhir, lebih menderita juga tidak menjadi soal.

Beberapa kali dia hendak menelan Hoat-wan namun rasa ingin hidup tetap bertahan dalam sanubarinya. Selama hayat masih dikandung badan, betapapun manusia harus tetap bertahan hidup. Siksa derita lambat laun berubah pati rasa. Ini membuktikan bahwa dirinya sudah cukup lama terkurung di dalam kamar batu ini.

Mendadak timbul sesuatu pikiran, ia lihat kamar batu ini dibawah tanah, lorong sudah buntu, semestinya untuk bernapaspun menjadi persoalan setelah terkurung sekian lama, namun sedikitpun dia tidak merasa sesak dan sumpek. Mungkinkah ada celah-celah atau tempat untuk memasukkan hawa kedalam kamar ini? Bergegas Ji Bun melompat bangun, penemuan inilah seperti selarik sinar harapan baginya untuk cari hidup.

Ia mulai bekerja dengan teliti, setiap tempat, celah-celah atau lekukan dinding dia raba dan diendus dengan hidung. Setiap senti jengkal mulai diperiksanya dengan seksama, namun sedemikian jauh ia tidak menemukan apa-apa, tiada sesuatu tempat yang terasa membawa masuk hawa ke dalam kamar ini. Tapi kenyataan hawa di dalam kamar ini tetap segar, tidak mungkin tiada sebabnya. Maka ia putar otak, ia teringat akan atap kamar. Maka dia melompat ke atas sambil sebelah tangan terulur ke atas, ternyata tangan meraba sebuah celah yang cukup besar. Lekas jari tangannya berpegang pada batu-batu yang menonjol, sehingga dia bergelantung sedikit mengerahkan tenaga dia berusaha menempelkan badannya pada atap batu, jadi seperti cecak saja tubuhnya bergelantung. Kembali hidungnya mengendus-ngendus, lalu menarik napas panjang. Ternyata hawa segar mengalir di antara celah-celah ini.

Keruan senangnya bukan main, harapan hidup seketika berkobar. Segera ia melayang turun ke bawah, kalau celah-celah ini ada hawa segar mengalir masuk, tentu kamar batu ini tidak terlalu dalam dari permukaan bumi. Lalu tindakan apa yang harus dia lakukan sekarang? Rasa senang luar biasa membuatnya gemetar, namun juga kebingungan seperti kehilangan akal. Pikir punya pikir, hanya ada satu jalan untuk lolos keluar, yaitu menjebol atap dinding ini, namun dia juga harus mengambil resiko. Kalau atap dinding ini runtuh, berarti dirinya akan terkubur seketika. Daya tarik hidup betapapun !ebih besar dari pada resiko apapun yang harus dihadapinya. Kalau tidak berani menyerempet bahaya bagaimana mungkin dirinya bisa hidup. Lalu dia menggeremet mundur ke pintu besi, pintu besi ini sudah jebol dan miring keterjang batu sehingga merupakan suatu lubang yang cukup besar. Jika atap kamar ini nanti ambruk, ke lubang besar di samping pintu besi inilah dia akan menyelinap dan menyelamatkan diri.

Maka dia berjongkok memasang kuda-kuda, kepalanya mendongak. Setelah napas teratur dan tenaga penuh, mendadak dia berdiri tegak serta memukul, dengan kedua tangan ke atas, "Blang", tak kalah keras dari pada ledakan pertama tadi. Batu pasir dan debu sama rontok berjatuhan, pandangan matanya menjadi terganggu, terasa debu pasir sama berjatuhan menguruk tubuhnya, badannya tertimbun setinggi dada.

Hati Budha Tangan Berbisa - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang