Ji Bun lupa lapar dan dahaga, tidak merasakan lelah, siang malam dia menempuh perjalanan, hanya "dendam" yang selalu menggejolak sanubarinya. Semakin dekat tempat tujuan hatinya semakin tidak tenteram, dia tahu musuh pasti telah mengatur jebakan dan muslihat untuk menyambut kedatangannya. Namun demi keselamatan ibunya, walau dia harus menghadapi hutan golok dan rimba pedang, lautan apipun akan diterjangnya.
o0o
Lam-cau adalah sebuah kota kecil yang ramai, di ujung jalan yang menjurus keluar kota dari jalan raya yang menuju barat terdapat sebuah taman hiburan yang terkenal diseluruh pelosok kota, itulah salah satu rumah Jit-sing-pocu Ji Ing-hong.
Pagi hari itu, seorang pemuda muka hitam berjubah biru mondar-mandlr di depan pintu taman yang tertutup rapat, dia bukan lain adalah Te-gak Suseng Ji Bun yang datang dengan dendam kesumat untuk menolong ibunya. Taman ini terhitung saiah satu tempat milik keluarganya, namun sekarang dia mondar-mandir di luar seperti orang asing, tidak berani ketok pintu atau menerobos masuk secara langsung.
Pintu besar yang berwarna merah sudah agak luntur catnya, gelang tembaga yang tergantung di tengah pintu juga sudah menghijau berdebu, agaknya sudah lama tidak terjamah tangan manusia, namun pepohonan di dalam pagar tembok tampak hidup subur dan berkembang dengan lebat.
Lama sekali Ji Bun mondar-mandir dengan ragu-ragu, akhirnya dia berkeputusan dan mengetok pintu.
Lama Ji Bun menunggu baru terdengar suata keresekan daun kering yang terinjak kaki, disusul suara serak orang berseru: "Siapa?"
Ji Bun tidak asing akan suara ini, hatinya menjadi bingung dan heran, suara serak orang tua ini adalah si kakek berjenggot, bukankah ibunya diculik kemati? Kenapa yang menjaga rumah dan membuka pintu tetap penjaga lama?
"Siapa yang ketok pintu di luar?" suara serak si jenggot bertanya pula.
Ji Bun sudah jelas dan yakin bahwa yang bertanya di dalam memang si Jenggot adanya, hatinya bergirang, cepat ia menjawab: "Pak jenggot, inilah aku!"
"Kau ..... kau siapa?"
"Bun-ji kongcu."
"Oooo," orang di dalam berseru kaget, agaknya di luar dugaannya. Pintu segera dibuka separo, menongollah seraut wajah seorang tua yang kurus kering, mukanya penuh berewok kaku, di antara rambutnya yang awut-awutan, tampak sepasang matanya memancarkan sinar tajam, sorot matanya mengunjuk rasa kaget dan heran.
"Pak jenggot!" sapa Ji Bun
"Siapa kau berani mengaku sebagai ....."
"Pak jenggot, masa kau tidak kenali suaraku lagi?"
Setelah tangan memegangi pintu, si jenggot mengawasi Ji Bun dari atas ke bawah, akhirnya ia berkata: "Wajahmu tidak mirip ......."
"Pak jenggot, aku sedang menyamar, duduk persoalannya nanti kuceritakan."
Sinar mata si jenggot yang tajam seperti mata burung elang menyelidik, suaranya ragu: "Apa betul ..... kau ini Ji-kongcu? Kau ..... tidak mati?"
"Apa? Mati? Bagaimana kau, bisa bilang demikian?"
Si jenggot menjadi gelagapan, katanya: O. tidak, hamba kira Ji-kongcu ikut menjadi korban musuh."
"Memang berulang kali aku mengalami bencana, syukur aku tidak mati. Pak jenggot, mana ibuku?"
"Ji-hujin?"
"Memangnya otakmu sudah miring, masakah orang lain yang kutanyakan."
"Ji-kongcu," ujar pak jenggot menghela napas panjang. ''sampai sekarang jejak Ji-hujin belum diketahui parannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Budha Tangan Berbisa - Gu Long
General FictionWataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling dalam masih terbetik juga sifat pembawaan yang baik, jiwa luhur dan cinta kasih terhadap sesama manusia. Sayang keluhuran jiwanya ini sering...