25. Ayah Meninggal, Dendam Makin Membara

2.4K 51 0
                                    

"Ji-ya kenal Sin-eng-pangcu Ko Giok-wa tidak?"

"Sudah tentu tahu, kenapa?"

"Bagaimana kepandaian silat Ko-pangcu?"

"Hebat," puji laki-laki muka kuning sambil mengacungkan jempol, "seorang jagoan kelas satu dalam Bu-lim."

"Heh," seru laki-laki bersuara serak kasar tadi sambil gebrak meja, "semalam aku kebetulan lewat Jit-li-kang dan menyaksikan peristiwa itu, 20-an anak murid Sin-eng-pang di bawah pimpinan Ko-pangcu sendiri, mengobrak-abrik dan menghancurkan Thian-ong-ce, kini gunung itu sudah mereka caplok dan dijadikan cabang Sin-eng-pang. Dengan kemenangan gemilang itu mereka kembali lewat Jit-li-kang, namun di sana mereka tertimpa nasib malang........ "

"Tertimpa nasib malang bagaimana?"

"Mereka dicegat seorang laki-laki berkedok yang mengenakan jubah sutera."

Tersirap Ji Bun mendengar kata-kata terakhir itu, segera dia pasang kuping.

"Bagaimana selanjutnya?" tanya laki-laki muka kuning setelah meneguk araknya.

"Agaknya orang berkedok berjubah hijau itu memang sengaja hendak cari perkara, dia memperkenalkan diri sebagai teman pihak Thian-ong-ce yang hendak menuntut balas bagi kematian teman-temannya, maka terjadilah bentrokan sengit....."

Agaknya laki-laki muka kuning tidak tertarik oleh cerita ini, katanya tawar: "Pertikaian orang-orang persilatan umumnya memang berbuntut panjang, tiada akhirnya."

Laki-laki suara serak kasar tadi penasaran, teriaknya: "Ji-ya, ceritaku kan belum tamat, adegan yang lebih seram belum sempat kuceritakan. Ketahuilah, kepandaian orang berkedok itu ternyata hebat sekali, dalam tiga kali gebrakan saja, ya, tiga......" dia acungkan tiga jari sambil menyambung dengan ludah beterbangan, "dalam tiga gebrak saja, Ko-pangcu sudah menggeletak tak bernyawa......''

"Hah," berubah hebat air muka laki-laki muka kuning sambil berjingkrak berdiri, suara gemetar: "Apa betul?"

Ikut tegang hati Ji Bun, orang berkedok yang diceritakan itu entah ayahnya atau bukan? Seluruh tamu-tamu yang ada dalam warung arak kecil ini jadi tertarik oleh cerita orang bersuara serak dan perhatian mereka tertuju ke arah sini.

Tahu banyak orang tertarik dan memperhatikan ceritanya, semakin keras suara orang serak kasar: "Ji-ya, itu baru permulaan. Orang berkedok itu betul-betul keji, setelah membinasakan Ko-pangcu, beruntung dia melancarkan serangan ganas pula, 20 lebih jago-jago Sin-eng-pang yang berkepandaian tinggi semua menggeletak dibunuhnya, tiada satupun yang ketinggalan hidup."

"Siapakah orang berkedok itu?"

"Entah, setelah dia uraikan alasannya, kenapa dia menuntut balas terus turun tangan secara kejam."

"Ehm, tentunya dia bukan sembarangan tokoh......."

"Memangnya, Ji-ya, buntutnya ternyata lebih seram dan menegangkan. Tahu-tahu muncul lagi seorang berkedok berjubah pula......"

"Apa? Jadi ada dua?"

"Ya, bentuk dan perawakan kedua orang berkedok ini persis satu sama lain, seperti pinang dibelah dua, sukar dibedakan mana yang datang duluan dan mana yang baru tiba, begitu berhadapan tanpa bicara terus gerak tangan dan angkat kaki, keduanya berkelahi dengan dahsyat dan sengit, serang menyerang dengan pukulan mematikan, serasa terbang sukmaku waktu menyaksikan pertempuran hebat itu.........."

Mengencang jantung Ji Bun, darah mengalir lebih cepat, dia sudah berdiri, namun duduk kembali sambil menenggak secangkir arak.

Setelah istirahat sebentar, orang itu melanjutkan ceritanya: "Pertempuran itu berlangsung selama satu jam, dari atas bukit bergumul sampai ke bawah jurang, akhirnya mereka berhantam sampai ke dalam hutan, kelihatannya keduanya sama kuat, namun lama-lama kehabisan tenaga juga. Pada saat pertempuran memuncak dan hampir berakhir tahu-tahu muncul pula seorang berpakaian hitam, malam itu terlalu gelap, sukar dilihat macam apa orang berpakaian hitam ini, namun kudengar dia mendengus menggumam seorang diri. 'Ajal tua bangka ini sudah di depan mata namun masih saling cakar dan akhirnya gugur bersama. Thian memang murah untuk membalas kelaliman mereka, agaknya sakit hatiku akan terbalas.' Habis berkata orang baju hitam itu menerjang kedalam hutan........."

Hati Budha Tangan Berbisa - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang