"Ya, kebetulan hari itu aku memergoki kejadian," kata Biau-jiu Siansing, "di tanganmu anting-anting itu adalah benda pusaka, namun di tangan orang lain tak ubahnya seperti barang rongsokan belaka."
"Kenapa?" Ji Bun heran dan tidak mengerti.
Berkata Biau-jiu Siansing sungguh-sungguh:
"Tanda kepercayaan Ciang Wi-bin untuk mengambil hartanya bukan terdiri dari anting-anting itu saja, malah ada aturannya pula. Kalau dia berikan anting-anting itu pada seseorang, seluruh cabang perusahaannya juga diberitahu kepada siapa dia berikan tanda kepercayaan itu, hanya dengan tanda kepercayaan saja tak mungkin bisa ambil uang, harus tanda kepercayaan dan orang yang membawanya cocok satu sama lain sesuai laporan dari pusat. Kalau tidak, betapa besar kekayaan Ciang Wi-bin, apa tidak bakal bangkrut kalau hartanya boleh sesuka hati diambil orang?"
Hal ini memang tak pernah terpikir oleh Ji Bun, kedengarannya juga masuk akal.
Berkata Biau-jiu Siansing lebih lanjut:
"Persoalannya tidak terletak pada nilai dan manfaat dari anting-anting itu, tapi pada maksud dan tujuan dari pemberian anting-anting kepadamu, betul tidak?"
Cep-kelakep, Ji Bun tak mampu menjawab, agaknya persoalan semakin rumit, peduli kemana maksud tujuan Ciang Bing-cu memberi anting-anting itu, betapapun dirinya harus bertanggung jawab.
Tiba-tiba Thian-thay-mo-ki cekikikan, ujarnya:
"Ditangan orang lain mungkin anting-anting itu tak berarti lagi, namun kalau terjatuh ditangan tuan, dengan kepandaian tuan menyamar.. ."
Terguncang hati Ji Bun, kepandaian Biau-jiu Siansing merias diri dan menyamar juga tiada bandingannya dalam Bu-lim, selama ini tiada orang yang pernah melihat muka aslinya, jika anting-anting itu terjatuh di tangannya, betapa dia takkan menyaru sebagai dirinya untuk melepaskan nafsu tamaknya, maka ia manggut-manggut mendengar ucapan Thian-thay-mo-ki.
Biau-jiu Siansing terloroh-loroh, serunya:
"Orang maling juga ada aturannya, kau kira orang macam apa Lohu ini?"
"Menurut caramu merebut Sek-hud, persoalan apa pula yang tak bisa kau lakukan?"
Mendelik mata Biau-jiu Siansing, katanya:
"Harta benda dan Sek-hud merupakan persoalan yang berbeda bagi Bulim, betapa tenar dan tinggi kedudukan Bu-cing-so dan Siang-thian-ong, mereka toh sekongkol hendak merebut Sek-hud itu?" kata-kata yang tajam ini membuat Ji Bun mati kutu tak dapat mendebat lagi.
Tapi kecerdikan Thian-thay-mo-ki lebih tinggi daripada Ji Bun, segera ia menanggapi:
"Sesuai apa yang kau katakan, untuk sementata biar kami percaya omonganmu, tapi di puncak Pek-ciok-hong kau pernah membeberkan asal usul sendiri sebagai seorang pentolan maling yang bertingkat tinggi. Hilangnya anting-anting itu bukan mustahil karena dicuri oleh orang golonganmu, sesuai kedudukan dan tingkatanmu, apakah sudi tolong menyelidiki persoalan ini?"
Biau-jiu Siansing menepekur sebentar, sahutnya kemudian:
''Nah, kan harus begitu bicaranya. Baiklah, akan kubantu mencarinya."
Masgul hati Ji Bun, perjalanan kali ini terhitung sia-sia, ucapan Biau-jiu Siansing tidak meyakinkan dirinya, namun ia tak berani berkukuh menuduhnya, agaknya memang sulit untuk menemukan anting-anting itu. Maka segera Ji Bun buka suara:
"Cayhe masih mohon keterangan darimu."
"Soal apa?"
"Tentang Jit-sing kojin yang bersekongkol dengan tuan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Budha Tangan Berbisa - Gu Long
General FictionWataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling dalam masih terbetik juga sifat pembawaan yang baik, jiwa luhur dan cinta kasih terhadap sesama manusia. Sayang keluhuran jiwanya ini sering...