"Kaukah yang melakukan pembantaian di Jit-sing-po?" tanya Ji Bun pula.
"Pertanyaan ini dapat kujawab, ibumu, Lan Giok-tin sendiri bilang, pihak Wi-to-hwe dan anak buahnya yang melakukan."
"Apa betul?"
"Terserah padamu."
Ji Bun mengertak gigi, dia percaya, ayahnya juga pernah bilang demikian, soal menuntut balas boleh ditunda, sebaliknya sehari saja ibunya belum bebas dari genggaman tangan-tangan iblis, betapapun hidupnya takkan bisa tenteram, selamanya dirinya tidak punya permusuhan dengan orang ini, namun orang ini bilang demi keselamatan jiwa raganya sendiri terpaksa hendak membunuhnya serta menculik ibunya. Siapakah sebetulnya orang ini? Memangnya ada latar belakang yang terahasia di balik semua peristiwa ini?
"Kwe-loh-jin," kata Ji Bun kemudian, "peduli siapa kau, pokoknya asal kau bebaskan ibuku, boleh kubatalkan niatku untuk menuntut balas terhadapmu, seluruh perhitungan dulu dapat dianggap lunas, nah, bagaimana?"
"Saatnya belum tiba, tak usah dibicarakan," sahut Kwe-loh-jin.
"Saat apa maksudmu?"
"Urusanku sendiri, kau tidak perlu tahu, namun kau harus ingat satu hal, jangan kau cari setori padaku, kalau tiba saatnya, kalian ibu beranak pasti akan bertemu, kalau kau melanggar peringatan ini sukar kukatakan apa akibatnya."
Berkerutuk gigi Ji Bun saking gemasnya dan hampir membuat dadanya meledak.
"Hayo serahkan!" seru Kwe-loh-jin.
Ji Bun berpikir, kalau betul Wi-to-hwe adalah musuhnya buat apa dia harus menolong para musuhnya itu, kenapa harus bicara soal keadilan dan kebenaran segala. "Kwe-loh-jin, kita bisa bicara secara dagang," katanya.
"Dagang bagaimana?"
"Cayhe akan menyerahkan Hud-sim sebagai imbalannya, ......" sampai di sini mendadak ia berhenti, sebetulnya ia bermaksud menukar keselamatan dan kebebasan ibunya. Namun setelah kelepasan omong baru dia merasa jalan pikirannya ini kurang tepat, dendam tetap dendam, sebagai insan persilatan yang harus teguh berjiwa ksatria. Walau julukan Te-gak Suseng kurang sedap didengar, namun dia yakin selama dirinya mengembara, sepak terjangnya belum pernah melanggar kesalahan. Kalau sekarang demi menyelamatkan ibunya dia harus ingkar janji dan melakukan kesalahan ini, betapa dirinya takkan dipandang hina dan rendah dan itu berarti memusuhi kaum persilatan umumnya? Apa pula bedanya perbuatan ini dengan ketamakan, kelicikan dan kekotoran perbuatan Kwe-loh-jin ini? Hud-sim bukan miliknya, berdasarkan hak apa dia berani memberikan kepada Kwe-loh-jin untuk menukar keselamatan dan kebebasan ibunya, apalagi belum tentu Kwe-loh-jin mau menerima usulnya ini, kalau gagal dan ditolak, bukankah dirinya sendiri yang akan malu dan ditertawakan orang?
"Tukar apa yang kau maksud?" tanya Kwe-loh-jin.
"Tak jadilah," ujar Ji Bun sambil ulap tangan, "serahkan obat penawarnya."
Kwe-loh-jin mengerut kening, lalu dia mengeluarkan sebuah botol porselin kecil, setelah dibuka tutupnya dia menuang sebutir pil warna hijau pupus terus dilemparkan ke arah Ji Bun.
Ji Bun menerimanya, katanya: "Tadi kau bilang obat penawarnya tidak kau bawa?"
Kwe-loh-jin terkekeh-kekeh, ujarnya "Anak muda, itu namanya bekerja menurut gelagat."
"Hm, tidak tahu malu."
"Jangan cerewet, serahkan!"
Ji Bun ragu-ragu, katanya: "Apakah obatmu ini tulen?"
"Tidak usah kuatir, kali ini aku tidak menipu."
Ji Bun melemparkan buntalan Hud-sim, ingin dia bicara, namun sekilas dia merasa sungkan, maka tanpa bersuara cepat ia berlari kembali ke kelenteng kecil itu. Sementara itu fajar sudah menyingsing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Budha Tangan Berbisa - Gu Long
Ficción GeneralWataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling dalam masih terbetik juga sifat pembawaan yang baik, jiwa luhur dan cinta kasih terhadap sesama manusia. Sayang keluhuran jiwanya ini sering...