13. Perebutan Sek-hud

2.7K 54 0
                                    

Beberapa kali Thian-thay-mo-ki menoleh ke bawah, katanya: "Kalau mereka sudah datang, kita tidak usah turun tangan."

Ji Bun punya perhitungan tersendiri, ia tak mau berjumpa dengan orang-orang Wi-to-hwe, lekas ia berkata: "Cici, bagaimana kalau kita menyingkir dulu?"

Heran tak mengerti Thian-thay-mo-ki melirik kepada Ji Bun. katanya: "Baiklah, kita sembunyi di dalam gerombolan bambu sana."

Segera mereka menyingkap dedaunan menyelinap ke dalam semak-semak.

Tiba-tiba Ji Bun ingat sesuatu, tanyanya: "Cici, sebetulnya siapa ketua Wi-to-hwe?"

"Bukankah kau diundang sebagai tamu terhormat dan duduk semeja dengan dia?"

"Aku tidak tahu siapa dia, memangnya aku heran kenapa aku dihormati begitu rupa."

Derap langkah rombongan orang, radi semakin dekat. Tampak tujuh delapan bayangan orang berlompatan, meluncur ke depan biara, tandu kecil itu cepat sekali juga sudah tiba. Dengan seksama Ji Bun mengintip dari celah-celah dedaunan, tanpa terasa ia menjadi heran, tandu kecil ini bukan tandu milik "orang dalam tandu," itu, pengiring-pengiring tandupun tiada yang dikenalnya, rombongan dari manakah orang-orang ini?

Tandu diturunkan menghadap ke pintu biara, tiga orang tua pengiring dan lima laki-laki kekar segera berdiri sejajar meluruskan tangan di samping tandu. Terdengar suara orang perempuan yang seperti sudah dikenalnya dari dalam tandu: "Ho-tongcu, bawa orangmu dan periksa, ke dalam biara."

Salah satu di antara ketiga orang tua yang bermuka lonjong berdagu panjang dengan jenggot pendek dan segera mengiakan sambil membungkuk, sahutnya: "Lapor Hwecu, selama puluhan tahun ini, tiada seorangpun yang berani memasuki biara ini."

Baru sekarang Ji Bun mengerti, ternyata Cip po hwe-cu yang berada di dalam tandu ini, tak tersangka karena mengincar Sek-hud, sekali ini dia turun tangan sendiri memimpin seluruh anak buahnya.

Dingin suara Cip-po hwe-cu: "Ho-tongcu, itulah perintahku!"

Ho-tongcu mengiakan sambil membungkuk pula. Sekali ulap tangan, tiga laki-laki kekar segera tampil dan mengintil di belakang orang she Ho ini dan melangkah ke arah biara.

Dengan rasa kebat-kebit Ho-tongcu melangkah ke depan pintu. Setelah ragu-ragu sebentar segera ia nekat mendorong pintu, tak terduga pintu biara hanya dirapatkan saja, sekali dorong lantas terbuka.

Dari luar memandang ke dalam, tanaman kembang dan pepohonan teratur rajin, undakan dan serambi panjang semuanya serba putih bersih tanpa berdebu seakan-akan setiap saat selalu dibersihkan orang. Namun suasana tetap hening.

Tepat mengadang pintu berdiri sebuah pilar batu persegi yang ditatah beberapa huruf berbunyi:

"Tempat suci untuk membina diri, orang biasa dilarang masuk."

Sambil mengawasi batu pilar ini, Ho-tongcu dan ketiga laki-laki kekar tak berani melangkah masuk.

Cip-po hwe-cu bersuara dari dalam tandu: "Ho-tongcu, Pek- ciok Sin-ni sudah meninggal, memangnya apa yang kau takuti?"

Rasa takut kelihatan di roman Ho-tongcu, katanya sambil menoleh dengan suara gemetar: "Hwecu, itu hanya kabar angin ........."

"Kau berani menentang perintahku?" dengus Cip-po hwe-cu, "Hm, Li-tongcu."

Seorang tua lain yang bermuka bentuk segi tiga segera mengiakan dan tampil kemuka. "Kau masuk dan periksa," kata Hwecu.

"Terima perintah," sahut Li-tongcu, membusung dada dan segera melangkah lebar memasuki biara.

Mungkin demi gengsi atau. karena takut akan peraturan perkumpulan, Ho-tongcu segera nekat mendahului melompat masuk ke dalam.

"Hiiiaaaat!" jeritan ngeri tiba-tiba kumandang, tampak Ho-tongcu yang melesat masuk itu terpental keluar dan "bluk" terbanting tak bergerak lagi, Li-tongcu dan ketiga laki-laki kekar itu sama terbelalak dan mematung.

Hati Budha Tangan Berbisa - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang