Pelayan itu mengundurkan diri sambil menutup pintu dari luar.
Sekenanya Ji Bun jemput sebatang kipas terus dibeber, dengan handuk basah dia basahi permukaan kipas hitam itu lalu menyelinap masuk ke kamar sebelah. Kipas hitam yang basah segera dia tempel dan tekan pada cap kembang pupur di atas dinding itu. Cap pupur kembang itu segera mengecap balik di atas kipasnya. Sekembali di kamarnya dia keringkan kipasnya, lalu kipas itu dilempitnya pula, kemudian ia berjalan keluar.
Di jalanan Ji Bun sengaja pentang kipas hitamnya, bagian yang ada cap kembang sengaja dia unjuk ke depan, sambil jalan dia goyang-goyang kipas seperti pelajar umumnya, dia mondar mandir di jalan raya yang banyak dilalui orang.
Di antara sekian banyak orang-orang yang lewat tidak sedikit kaum persilatan. Begitu melihat cap kembang di kipasnya, berubah air muka mereka dan cepat menyingkir pergi. Seperti tidak terjadi sesuatu, Ji Bun putar kayun lalu mampir di sebuah warung teh yang berloteng. Sambil menikmati air teh, sering dia gunakan kipas untuk menghilangkan rasa gerah badannya. Aneh sekali, tamu lain satu persatu juga mengundurkan diri.
Ji Bun menunggu dengan sabar, didapatinya seorang tua baju hitam bersama seorang laki-laki kekar lainnya baru datang dan mengunjuk mimik heran dan kaget pada dirinya. Mereka bisik-bisik sambil melirik ke arahnya, diam-diam girang hati Ji Bun, segera dia buka suara dan bersenandung. Bait-bait syair yang dibawakan dalam senandungnya tidak serasi satu sama lain, namun laki-laki baju hitam itu berubah air mukanya, bergegas aia berdiri menghampiri Ji Bun, katanya sambil menyengir: "Bolehkah Lohu duduk di sini?"
"Kenapa boleh?" Ji Bun menyilakan.
Setelah duduk orang ini mengawasi Ji Bun dengan curiga, lalu berkata dengan suara lirih sekali, "Apakah kau duta pusat?"
Berdebar jantung Ji Bun, mungkin syair-syair senandungnya tadi secara tidak sengaja tepat mengenai sandi-sandi rahasia perkumpulan mereka. Dari sini dia menarik kesimpulan bahwa cap kembang ini pasti merupakan tanda pengenal dari suatu perkumpulan di Bu-lim, maka dengan wajah serius dia mengiakan.
Terunjuk sikap gelisah pada wajah orang baju hitam, serunya tersipu-sipu: "Hamba Tio Wi-kong, pejabat Hiangcu dari anak cabang kedua, tidak tahu kedatangan yang mulia, harap dimaafkan akan keteledoran ini," sembari bicara iapun berdiri.
"Duduklah!"
"Hamba tidak berani ......"
"Aku yang suruh kau duduk"
"Kalau begitu, hamba memberanikan diri, maaf."
Otak Ji Bun bekerja cepat, orang pandang dirinya utusan dari markas pusat. Ia menduga perkumpulan yang menggunakan tanda pengenal cap kembang ini pasti teramat besar dan mewah, kedudukan duta dari pusat juga teramat tinggi, maka dia cari daya untuk mengorek keterangannya dari mulut orang ini, namun dia harus hati-hati supaya tidak mengunjuk tanda-tanda yang mencurigakan.
Beberapa kali mulut Tio Wi-kong sudah terbuka hendak bicara, tapi selalu urung. Ji Bun diam saja, ia pikir, gunakan titik kelemahan orang, mungkin bisa dikorek sedikit keterangan dari mulutnya. Maka dia mencobanya: "Apakah Tio-hiangcu ada waktu senggang?"
Serius wajah Tio Wi-kong, sahutnya: "Mana berani, hamba bertanggung jawab terhadap semua mata telinga yang disebar di sini."
"Ehm, tugasmu cukup berat dan besar artinya, Hiangcu harus bekerja baik dan hati-hati."
"Ya, ya, mohon petunjuk."
Tidak tahu Ji Bun dengan cara apa dia harus mengorek keterangan orang, terpaksa sekenanya dia bicara: "Mengenai peristiwa di hotel itu ........" sampai disini dia berhenti sambil mengawasi mimik muka orang, betul juga orang baju hitam tertegun sebentar, seperti sangsi dan heran, lalu sahutnya tergagap: "Apakah duta tidak mengetahui ........"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Budha Tangan Berbisa - Gu Long
Ficción GeneralWataknya dingin, angkuh, semua itu menjadikan jiwanya nyentrik. Untunglah di dalam lubuk hatinya yang paling dalam masih terbetik juga sifat pembawaan yang baik, jiwa luhur dan cinta kasih terhadap sesama manusia. Sayang keluhuran jiwanya ini sering...