I

3.5K 221 33
                                    

PART SEBELUMNYA...

@

@

@

@

"Kak Riooo..." rengeknya.

Rio tertawa. Ia pindah di belakang tubuh Ify. Meletakkan genggamannya masing-masing di tangan Ify yang menangkup stik drum erat-erat. Menggerakkan sesuai yang ia contohkan tadi.

"Ketukannya diperhatikan."

Ify mengangguk-angguk. Masih dalam kendali Rio, ia memainkan drum yang sejak SMA ingin dipelajarinya. Tapi apa daya baru keturutan.

"Ify coba sendiri Kak." pintanya.

Rio melepas pegangannya, tanpa mundur memberi jarak. Menyaksikan kelihaian koordinasi tangan dan kaki Ify dalam menciptakan nada melalui drum. Ia sudah menduga, tak membutuhkan waktu lama untuk membuat Ify beradaptasi dengan alat musik ini. Kecintaannya pada seni, terlebih musik serta kemampuan basic yang dia punya, membuat Ify mudah memakan semua alat musik dalam ruangan ini sebenarnya. Namun untuk gitar, Ify lebih memilih melihat dia memainkannya. Belum tergugah untuk belajar.

Ia mencondongkan badan. Menempelkan dada pada punggung Ify. Wajahnya setara. Ia memiringkan muka. Mengamati begitu dekat mimik wajah Ify yang sedang serius campur senang dengan alat musik yang baru digelutinya. Bibir ranum itu mengerucut ketika terdengar nada yang miss. Saat itulah Rio meminta upah tanpa persetujuan. Lantas keluar ruangan. Meninggalkan Ify yang menyentuh bibir dengan tangan gemetar, sementara kedua stik drum terkapar di bawah kaki.

***

Entah keberapa kalinya Ify menguap, menggeleng-gelengkan kepala menghalau kantuk yang sejak beberapa menit melewati tengah malam menyerang. Ia mundur dari gerombolan teman-teman Rio yang juga dikenalnya akrab, selain Shilla, Cakka, dan Sivia. Mengenai hubungan Shilla dan Cakka, keduanya masih perang dingin. Tampak dari selama acara, yang biasanya nempel kesana kemari, keduanya menjauh satu sama lain. Cakka terlihat tak ada niat untuk mendekati lebih dulu. Sedangkan Shilla, sesekali kedapatan mencuri pandang ke arah Cakka dengan ekspresi memelas.

Sentuhan di lengan kiri membuat Ify berjengit. Sepasang kelopak matanya membuka lebar saat tahu siapa yang sekarang berdiri di samping tubuhnya. Ia mengepalkan tangan takut lepas kendali, terlebih Rio tak ada di sekitar mengingat kejadian beberapa jam lalu membuatnya jaga jarak karena masih kaget. Sebisa mungkin ia memasang ekspresi datar, namun apalah daya ringisan kecil keluar juga.

"Pacarnya Rio?"

Eh? Kok tahu? Seluas apa sebaran berita ia berpacaran dengan Rio? Lagi-lagi Ify meringis selagi mengangguk kecil. Idola yang dielu-elukan tahu kalau kita punya pacar itu serasa menjadi kombinasi yang kurang tepat.

"Kak Gabriel juga diundang?" tanya Ify mengalihkan.

"Yoi. Walaupun gak satu perguruan, tapi yang namanya tetangga sebelah ya harus datang." jawab Gabriel dengan senyum miring menyiratkan makna khusus dalam kalimatnya.

Ify tersentak, dan kembali meringis. Baru ia tahu detik ini bahwasanya Gabriel beda "perguruan" dengan Rio. Jika dilihat dari tatapan serta bahasa muka yang lain, sepertinya perguruan Gabriel inilah yang bersiteru dengan perguruannya Rio. Ia sempat mendengar desas-desus yang mengarah pada 2 jenis perguruan yang sekarang lagi booming dalam percakapan dunia perpolitikan kampus.

"Gue permisi ya Kak." pamit Ify membungkukkan badan sedikit sebelum berlalu.

Ia tak pernah suka dengan bahasan problematika politik, dan hari ini dia bertemu dengan oknumnya. Rio memang seorang aktivis, kalau bukan tak mungkin pria itu bisa menempati kursi presma tahun lalu di gedung khusus bagi pengurus badan eksekutif. Memangnya bisa jadi jika tak ada yang mengusung? Namun selama berpacaran, sekalipun Rio tak pernah membahas hal itu. Ia menjadi sosok yang lepas dari pribadi aktivisnya. Menjadi laki-laki biasa yang ia suka.

ALWAYS BE MY PARTNER (HOPE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang