32. Love or Hurt

1.1K 134 0
                                    

Park Jinyoung's POV

Handphoneku berdering tanda ada telepon masuk. Aku segera memeriksa dan ternyata itu dari Suho. Ada apa dia meneleponku malam – malam begini.

"Hana sakit Jun, demam abis ujan – ujanan ama Dyo. Besok jengukin dia ya, gue ada urusan soalnya"

Tiitt. Suho langsung mematikan teleponnya. Ckckck dasar Suho, selalu saja begitu. Bahkan di saat lawan bicaranya saja belum sempat berbicara dia sudah memutuskan sambungannya. Hemat pulsa kali ya. Hana sakit karena hujan – hujanan sama Dyo. Dasar Dyo, dia gak tau apa kalo Hana itu gampang banget sakit, apalagi kalo kena hujan deras gitu. Jangan harap bisa bangun dari tempat tidur dia.

*Flashback*

"Jujunn main sepedaa yook"

"Hujan loh han"

Hana dan junior kecil pun akhirnya bermain sepeda dengan ceria ditengah derasnya hujan sore itu. Mereka bermain hingga akhirnya papanya Hana pulang kerumah dan memanggilnya untuk masuk ke dalam rumah. Keesokan harinya Hana tidak ada di sekolah dan Junior memutuskan untuk pergi ke rumah Hana.

"Ooom Hana kemana kok gak sekolah tadi?"

"Hana sakit jun, karena kemarin main hujan itu"

"Yaahh, Junior minta maaf ya om. Karena Junior, Hana jadi sakit"

"Gak, itu bukan salah kamu kan Hana yang ngajak main, udah kamu liatin dia sana"

Junior pergi ke kamar Hana, dan dia melihat Hana yang tertidur lelap di bawah selimut tebal dengan gambar spiderman di tengahnya. Junior lalu mengelus kepala Hana dan berkata, "Hana cepat sembuh yaa, nanti kalo Hana sakit terus aku main sepeda sama siapa dong"

***

Aku hanya tersenyum mengingat kejadian tersebut. Betapa polosnya aku dan Hana, yang ku tahu hanyalah Hana adalah teman terbaikku. Semuanya begitu indah, sebelum aku mengenal perasaan ini. Aku merindukan masa kecilku. Masa kecilku dengan Hana pastinya. Aku merindukan Hana. Hana, yang belum menjadi kekasih orang lain. Hahaha... tapi akhirnya aku sadar, Hana juga berhak untuk bahagia dengan kekasihnya. Aku tidak boleh egois.

Tok...tok...tok...

Pintu kamarku diketuk dan aku segera membukanya dan ternyata itu adalah mom. Aku tau, dia pasti mau membicarakan masalah kepindahanku. Aku menghela napas dulu sebelum akhirnya membukakan pintu untuk mom.

"Kamu udah siap untuk pindah bulan depan?"tanya mom padaku sambil masuk ke dalam kamar.

"Mom, jangan bulan depan yaa,"pintaku pada mom.

Mom tersenyum lalu mengambil bingkai foto yang berisikan fotoku berdua dengan Hana, "pasti kamu belum mau ninggalin Hana kan? Jadi kamu belum nyatain perasaan kamu?"

Aku mengangguk lesu, "kalo aku nyatain perasaan aku terus pergi kayak gitu rasanya aneh mom"

Mom hanya bisa tersenyum lagi, "kalau kamu sudah siap untuk pindah, bilang aja. Tapi, kelas 3 nanti mau tidak mau ya kamu harus pindah kesana. Oh iya, jangan lupa pamit sama Hana ya,"jawab Mom lalu pergi dari kamarku. Mom memang selalu pengertian.

Dadaku kembali sesak. Aku belum sanggup untuk mengucapkan kata – kata perpisahan pada Hana. Tapi mau bagaimana, ini tuntutan pekerjaan Dad. Aku pasti akan terus merindukan Hana. Bagaimana aku jadinya nanti disana. Arrghhh... tolong akuu

[keesokan harinya]

Sesuai yang di perintah Suho kemarin, aku pun pergi ke rumah Hana untuk melihatnya. Ya, tanpa dia suruh juga aku akan tetap mendatangi Hana. Sesampainya di rumah Hana, aku langsung mengambil bubur dan obat yang memang sudah disiapkan Suho untuk Hana. Ketika aku membuka pintu kamar Hana, aku melihat Hana yang tergeletak lemah di tempat tidur. Aku lalu menempelkan punggung tanganku di jidatnya, panas sekali. Aku memandangi Hana. Kenapa rasanya begitu menyakitkan bagiku ketika melihatnya sakit seperti ini.

Hana terbangun dan melihatku, "Lhoo jun? Lo kok bisa disini? Tau darimana lo gue sakit?"

"Apasih yang gak gue tau tentang lo han?"

"Alah bilang aja lo tau dari bang Suho"

Akau tertawa. Renyah. Garing. Kres – kres.

"Lo makan yaa?"

"Iya, gue juga bangun kan karena laper"

"Dasar kebo lo emang. Makan tidur muliu"

"Ehh anjir gue juga kalo gak sakit yaa gini wkwk"

"Lo makan tidur aja gak gemuk gemuk Han"

"Iya juga jun, makanan gue pada lari kemana semua"

"Tau tuh, makanya lo gak tinggi – tinggi"

"Bangsat lo emang"

Akupun menyuapi Hana makan. Sambil ngobrol tentunya. Hana itu paling tidak bisa diam. Jadi, jangan harap dia bisa tenang bahkan saat sakit sekalipun.

"Han, gimana kalo misalnya suatu saat gue pergi pindah gitu ke luar negeri?"tanyaku pada Hana.

Tak kusangka pertanyaanku barusan membuat Hana berhenti tertawa tiba – tiba dan menatapku. Matilah kau Jinyoung.

"Ya, semisal gue pas kelas 3 nanti pindah ke luar negeri"

"Gak boleh,"jawabnya tegas.

"Kok gak boleh sih Han?"

"Gak, pokoknya gak boleh. Lo udah janji buat selalu ada di sisi gue, gak mau pokoknya gak boleh. Lagian kan kita udah janji nanti mau kuliah bareng ke luar negeri, itu baru boleh. Tapi kalo buat sekarang gak boleh. Pokoknya gue gak mau,"jawabnya dengan mata berkaca – kaca.

"Yah han masa nangis gitu sih kan gue bilang misalnya. Belum tentu juga bakalan pindah gue,"jawabku sambil menenangkannya.

Tak lama kemudian pintu kamar Hana terbuka dan ada seseorang yang masuk. Ternyata Dyo yang datang. Aku menghela napas. Ini artinya aku harus segera pergi meninggalkan mereka disini. Ya, tidak harus juga sih, tapi masa iya kalau aku harus jadi nyamuk di antara mereka berdua.

"Eh ada junior juga disini,"kata Dyo.

Aku hanya tersenyum.

Dyo lalu mendatangi Hana dan menempelkan tangannya di jidat Hana, "kamu udah gimana?"tanyaya.

"Udah mendingan kok"

Mereka berdua lalu asyik mengobrol dan tertawa tanpa menyadari kehadiranku di tengah – tengah mereka. Hana pun tampaknya mulai mengabaikanku dan akhirnya aku pun memutuskan untuk pulang saja ke rumahku.

***

Aku benar – benar tidak bisa tidur malam ini. Perkataan Hana tadi masih terus tergiang – ngiang di dalam kepalaku.

"Gak, pokoknya gak boleh. Lo udah janji buat selalu ada di sisi gue, gak mau pokoknya gak boleh. Lagian kan kita udah janji nanti mau kuliah bareng ke luar negeri, itu baru boleh. Tapi kalo buat sekarang gak boleh. Pokoknya gue gak mau"

Aarrgghh. Bagaimana ini. Bagaimana caraku agar bisa menjelaskannya pada Hana. Bahkan saat aku masih bilang 'misalnya' saja dia sudah tidak mengizinkanku. Hatiku semakin gelisah dengan ini semua. Jujur saja aku memang sama sekali tidak mau meninggalkan Hana. Tapi mau tidak mau aku harus pindah kelas 12 nanti. Iya, aku memang sudah janji pada Hana untuk tidak meninggalkannya. Astaga, apa yang harus ku lakukan nanti ya Tuhan. Hana, maafkan aku. Sepertinya aku tidak bisa menepati janjiku. 

Amnesia -dks [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang