BAB 4
Netra dan BolaWajah Netra memucat. Dia membawa bola basket dengan keringat dingin yang terus mengucur. Tangannya membawa bola dengan gemetaran, kakinya bergerak-gerak ingin kabur dan giginya sibuk menggigiti bibir merahnya. Setiap dia melangkahkan kaki ke depan, tidak lupa dia menelan ludahnya, gugup. Itu artinya gilirannya makin dekat.
Ivo baru saja selesai menembakkan bola ke ring basket. Dan masuk!
O ... ow ... Netra harus melangkahkan kaki lagi. Belum apa-apa badannya sudah panas dingin. Ini dia salah satu lagi kelemahan Netra di antara begitu banyak kelemahan yang dia punya. Netra tidak pandai berolahraga berat semacam basket, voli, sepak bola, dan bola kasti. Karena kenyataannya adalah Netra takut pada bola!Mau tidak mau Netra harus mengakui kekonyolannya. Tapi bagaimana lagi? Bagaimana dia bisa bermain bola jika setiap kali dia diberi operan bola, Netra malah menghindar untuk kabur. Kocar-kacir, bersembunyi di belakang badan temannya dan berteriak histeris.
Setelah Ivo, kini Fera sudah selesai menembak. Netra maju satu langkah lagi. Dia lalu menghitung ada berapa orang lagi di depannya. Satu ... dua ... Buset! Netra kaget sendiri begitu menyadari dia ada di urutan ketiga. Netra menghadap ke belakang.
“Lo duluan aja deh, Sar. Gue rela kok lo langkahin.”
Di belakangnya, Sarah hanya cengar-cengir nggak jelas.
“Nggak mau ah, Net. Terimalah kenyataan.”
Netra melihat wajah-wajah setan di muka teman-temannya. Mereka semua memandang Netra dengan dua tanduk di kepala. Sialan. Kalau memang benar dugaan Netra, mereka pasti sedang menunggu giliran Netra untuk menembak.“Netra.”
Deg.
Netra melonjak kaget ketika guru olahraga memanggil namanya. Di berbalik lalu meringis dengan wajah menyedihkan. Sudah tidak ada orang lagi yang berdiri di depannya. Matilah gue, rutuk Netra dalam hati.
“Ayo lempar bolanya!” Pak Sogi terpaksa membentak Netra karena anak itu diam saja ketika gilirannya menembakkan bola.
Pak Sogi tidak tahu saja kalau saat ini Netra merasakan dia akan kencing di celananya.
“Kalau besok aja gimana, Pak?” Netra mencoba bernegosiasi dengan guru olahraga yang terkenal galak itu.
Pak Sogi memberi hadiah sebuah pelototan pada Netra. Sementara Netra mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya untuk membentuk huruf V.
“Iya, Pak. Peace, Pak. Saya cuma bercanda. Bapak tahu kan kalau saya suka bercanda. Walaupun saya suka bercanda, perasaan saya nggak sebercanda itu kok, Pak.”
Di belakangnya, Sarah mencubit pinggang Netra.
Netra meringis ketika Pak Sogi makin melotot padanya. Dia mengambil napas panjang untuk ancang-ancang.
Tenang, Net. Ring basket itu pendek. Iya, pendek, Net. Jadi nanti setelah lo lempar bolanya, itu bola nggak akan memantul ke arah lo lagi, ucap Netra pada dirinya sendiri. Itu namanya sugesti. Sugesti!
Namun setelah Netra mendongak untuk melihat ring basket. Naudzubillah, tinggi banget. Secuil keberanian yang sempat Netra kumpulkan tadi, hancur berkeping-keping seperti remahan biskuit konghuan.
“Netra!” bentak Pak Sogi yang berhasil membuat Netra kaget setengah wafat. Tanpa sadar Netra melempar bola basketnya ke atas.
“Uwa ....!” Netra berjongkok sambil menutupi kedua telinganya dengan telapak tangan. Kemudian ..., doeng! Bola itu jatuh tepat di ubun-ubun Netra. Nggak keras sih, hanya bikin Netra harus tergeletak tak berdaya di pinggir lapangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Netra
Teen Fiction"Denger kata-kata gue ini ya, sebagai temen, demi meredam kegilaan kalian, gue janji gue bakal cari kelemahan Aldi!" ucap Netra mantap. ---- "Bagi duit, Bang." "Eh, duit buat apaan?" Satrio memekik. "Buat beli kacamata sama topi. Cepek aja, deh." "B...