Bab 16 - Hal Tak Terduga

3.1K 213 22
                                    

Hueee ....

  Rasane kepingin nangis yen kelingan Parangtritis.

  Eh salah, itu lagunya Didi Kempot.

  Tapi perasaan Netra sama seperti perasaan Didi Kempot ketika dia menyanyikan lagu itu. Lirik dalam lagu itu mewakili perasaan Netra saat ini. Rasanya dia ingin menangis! Anak-anak kelasnya sudah pulang dari tadi. Ketiga sahabatnya juga sudah pulang duluan sementara Netra malah masih betah duduk di bangkunya, sibuk dengan hukumannya. Sudah tiga puluh menit berlalu sejak bel pulang berbunyi. Dari dua puluh soal baru selesai separuhnya. Artinya, masih ada separuh lagi yang belum dia kerjakan.

  Ya ampun, padahal kelasnya sudah sepi. Kelasnya berada di ujung dan di luar sana tidak ada suara teman-temannya lagi. Di ruangan ini, Netra hanya ditemani oleh benda-benda mati, suara detak jarum jam dan sesosok makhluk hidup yaitu Aldi. Ya, Aldi masih betah duduk di barisan belakang. Entah apa yang dia lakukan, Netra tidak berani untuk menoleh padanya.

  Keberadaan Aldi di dekatnya saat ini malah menambah kengerian di kelas ini. Lagipula ngapain sih Aldi masih ada di kelas? Kenapa dia tidak langsung keluar sama seperti siswa lainnya? Ke ruang OSIS kek, ke kantin kek, atau pulang, Netra tidak peduli. Yang penting dia tidak terjebak dalam satu ruangan yang sama dengan Aldi.

  Berada di satu tempat dan berbagi udara yang sama berdua saja dengannya adalah satu hal yang tidak pernah dibayangkan oleh Netra, even in her wild dream.

  Hiks.

  Netra membaca soal di buku diktatnya sambil menggigit bibir bawahnya. Ngeri. Kelasnya menjadi lebih mencekam karena Netra merasakan ada sepasang bola mata yang memperhatikan gerak-geriknya di belakang sana.

  'Srek ... Srek ....'

  Suara bolpoin yang berlarian di atas kertas, diselingi suara kertas yang dibolak balik mendominasi kelasnya. Netra hanya mendengar suara yang dihasilkan olehnya. Dia tidak mendengar suara lain. Tidak ada suara yang ditimbulkan oleh seseorang di belakang sana. Seolah tidak ada tanda kehidupan selain dirinya. Mengerikan, bukan? Netra penasaran dengan apa yang dilakukan Aldi. Kenapa dia begitu tenang? Tapi sekali lagi, Netra takut untuk menoleh. Setiap kali dia berhasil mengumpulkan keberanian untuk menoleh, sedetik kemudian keberanian itu menguap. 

  'Tap ... tap ....'

  Seolah tahu dirinya sedang dibicarakan, akhirnya sosok di belakang Netra mengeluarkan tanda-tanda kehidupan. Suara langkah kaki seseorang terdengar jelas di telinganya. Makin lama makin mendekat dan terdengar horor di telinga Netra. Netra menelan ludah.

  “Ayo pulang.”

  Netra tersentak kaget hingga bolpoinnya terlempar dari tangan dan terjatuh di lantai. Ya Allah, saking seriusnya Netra pada suara langkah itu hingga dia tidak sadar Aldi sudah berhenti di dekatnya. Jantung Netra mau copot rasanya.

  Netra mendongak untuk menatap tajam pada Aldi yang juga sedang menatapnya tanpa ekspresi. Ini nih, pelaku tadi yang bikin Netra kaget setengah wafat.

  “Lo nggak lihat, gue masih ngerjain soal. Belum selesai. Pulang aja sana,” katanya dengan nada menantang. Sejauh ini Netra baru bisa mengerjakan 13 soal kimia, masih sisa tujuh lagi. Bagi Netra, tujuh bukanlah jumlah yang sedikit.

  Aldi mendekatkan kepalanya. Eits, jangan berpikiran yang iya-iya dulu. Aldi bukan mendekatkan kepalanya pada wajah Netra namun pada buku pekerjaan Netra. Walaupun begitu, sikap Aldi yang tiba-tiba itu tak ayal membuat Netra deg-degan.

  Orang ini mau apa? Apa maunya? Dia mau apa? Ya Allah, lindungilah hamba-Mu ini, doa Netra dalam hati.

  Aldi menjauhkan wajahnya lalu dia berjongkok untuk mengambil bolpoin Netra yang terlempar ke lantai. Dia melangkah kemudian menarik kursi di depan Netra. Aldi membalik kursi lalu duduk di kursi itu dengan posisi menghadap Netra. Netra tidak sempat bertanya karena Aldi langsung merampas buku tulisnya dan menulis-nulis sesuatu di atasnya.

NetraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang