Netra terbangun dengan keadaan yang masih sama seperti waktu di sekolah tadi. Perutnya masih sakit tidak tertahankan. Tangannya bergerak menggapai gelas minuman di meja nakas. Tenggorokannya terasa kering
Ketika merasakan gelas itu enteng, Netra mengumpat. Sialan, habis. Netra melirik ke jam dinding. Pukul 21.15, lumayan lama juga dirinya tertidur. Sepulang sekolah tadi, dia langsung meringkuk ke kasur setelah mengganti bajunya. Dia sedang tidak enak badan karena haid.
Setelah sakit perutnya sedikit berkurang, dia berusaha berdiri dan menggerakkan kakinya ke dapur. Badannya pegal-pegal seolah dia baru saja menggantikan tugas kerbau-kerbau di sawah untuk membajak sawah.
Dengan susah payah Netra melangkah. Netra sangat bersyukur ketika dia sudah berada di depan kulkas. Berjalan satu meter lagi saja, Netra pasti tidak akan sanggup. Hari pertama haid memang sangat menyebalkan. Badan Netra menjadi lemah tidak berdaya. Walaupun ada untungnya juga bagi Netra, dia jadi punya alasan untuk tidak mengikuti pelajaran olah raga hari ini. Jadi dia bisa lari menghindari permainan bola dan enak-enakan tidur di UKS.
Netra terkantuk-kantuk di meja makan. Kerongkongannya sudah tidak kering lagi, sakit perutnya pun sudah berkurang. Di keheningan rumahnya, Netra samar-samar mendengar suara genjrang-genjreng dan suara orang bernyanyi di depan rumahnya. Netra membuka matanya. Rasa kantuknya berubah menjadi penasaran. Dia berjalan keluar.
Netra menyipitkan matanya, berusaha mengenali beberapa orang di luar sana. Lampu penerangan jalan tidak terlalu membantu Netra untuk mengenali wajah orang-orang itu. Tapi satu yang pasti, Satrio ada di sana. Dia sangat hapal siluet tubuh Satrio walaupun dari belakang. Maka pastilah itu gerombolan teman Satrio. Mereka bernyanyi sambil merokok. Netra mendekati mereka dengan wajah tidak suka. Tahukah mereka kalau mereka itu mengganggu?
"Hei hei, pengamen mana ini? Sembarangan masuk kompleks." Netra meluncurkan jurus juteknya. Orang-orang itu menoleh. Barulah Netra bisa melihat wajah mereka.
"Lo udah baekan, Net?" Satrio bertanya pada Netra tanpa menoleh karena dia sedang mematikan rokoknya.
"Sat, ngamen malem-malem gini, ganggu tetangga lain, kan." Alih-alih menjawab pertanyaan Satrio Netra malah mengomel padanya.
Iwang menimpali, "Adek kita satu ini dateng-dateng nggak nyapa malah ngomel."
Iwang sudah lama mengenal Netra. Bahkan dulu dia pernah menembak Netra tapi ditolak. Lalu secara sepihak dia memproklamirkan hubungan kakak-adik dengan Netra.
"Kalau siang sih terserah kalian, ya. Tapi malem-malem gini genjrang genjreng di luar rumah itu nggak etis," kata Netra tanpa semangat. Tubuhnya masih lemas, tiba-tiba saja perutnya bergejolak lagi. Netra melirik pada Iwang. Tanpa sengaja dia menemukan Aldi berada di sana. Dia berdiri di samping Iwang, sedang sibuk mematikan rokoknya padahal rokoknya masih panjang. Ketua OSIS itu merokok juga ternyata. Satu lagi nilai buruk Aldi di depan Netra. Netra sangat tidak suka asap rokok. Bukan berarti dia tidak memperbolehkan orang lain merokok. Silahkan saja merokok di depannya asal asapnya ditelan jangan dikeluarkan.
Menurut Netra, perlakuan Aldi itu cukup gentle dengan tidak membiarkan seorang cewek ikut merasakan asap rokok yang dia hasilkan. Tapi tetap saja, dia merokok. Kalau ketahukan pihak sekolah, mampus dia. Catatan tambahan untuk Netra.
Rasa sakit di perutnya muncul lagi. Netra terpaksa harus duduk di depan Satrio sambil meringis, memegangi perutnya.
Aldi meliriknya sekilas.
"Halah, duduk juga," ejek Iwang.
"Diem, lo!" sahut Netra. Dia memperhatikan gitar di tangan Iwang. Kok familiar, ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Netra
Roman pour Adolescents"Denger kata-kata gue ini ya, sebagai temen, demi meredam kegilaan kalian, gue janji gue bakal cari kelemahan Aldi!" ucap Netra mantap. ---- "Bagi duit, Bang." "Eh, duit buat apaan?" Satrio memekik. "Buat beli kacamata sama topi. Cepek aja, deh." "B...