Bab 21 - Jari Telunjuk

2.8K 243 19
                                    

Sepulang sekolah ....

  Netra berhasil melarikan diri ke mushola ketika jam pelajaran usai. Setelah melaksanakan salat zuhur, dia ngumpet di dalam mushola seraya menanti waktu yang aman baginya untuk menampakkan diri. Tapi seseorang di luar sana nampaknya sudah tidak sabar menunggu. Dia terus memberondongi Netra dengan pesan-pesan teror.

  Aldi : Keluar lo.
  Aldi : Cepetan!
  Aldi : Keburu maghrib
  Aldi : Hei, jangan dibaca aja kayak koran. Bales, Net
  Aldi : Lama. Keburu subuh.

  Begitulah isi pesan teror dari Aldi. Kelihatan sekali kalau orang itu tidak sabaran. Netra hanya membacanya tanpa berniat untuk membalas. Dia melihat ke luar jendela mushola di lantai dua. Masih terlihat beberapa siswa yang berseliweran walaupun tidak banyak. Dari tempatnya sekarang ini, dia bisa melihat ke arah parkir. Motor-motor yang terparkir di sana sebagian besar sudah menghilang dibawa pergi si pemilik.

  Aldi kembali mengiriminya pesan.

  Aldi : Apa perlu gue pinjem radio sekolah dan manggil-manggil lo lewat radio?
  Netra : Gila lo! Coba aja kalau berani
  Aldi : Berani lah, sekarang ini gue ada di depan ruang radio.

  Rasanya mata Netra melompat keluar dari matanya. Dia tidak hiperbola dengan reaksinya itu. Mata Netra memang melotot ketika membaca pesan balasan dari Aldi. Segera dia membereskan tasnya. Sebelum dia beranjak pergi, Netra sempat mengirimi Aldi pesan, takut dia terlambat menyelamatkan diri dan Aldi melakukan tindakan konyol yang tidak diinginkan.

  Netra : Stay back! On my way! 

  Netra bergegas berlari menuju ruang siaran. Benar saja, Aldi berdiri di sana, menempelkan punggungnya di dinding. Sebelah tangannya dia masukkan ke dalam saku celananya sementara sebelahnya lagi memegang ponsel. Ketika Netra sudah sampai tepat di depan Aldi, pria itu menunjukkan layar ponselnya di depan muka Netra. 

  “Lima menit 35 detik,” ucapnya.

  Netra yang sedang mengatur napasnya yang ngos-ngosan, mengerutkan dahi tidak mengerti. Lima menit 35 detik untuk apa?

  “Lama lari lo dari mushola ke tempat ini.”

  Kampret, maki Netra dalam hati. Kok ada ya cowok yang menghitung waktu lari seorang gadis. Dia tidak sedang ikut lomba lari maraton atau lari 100 meter.

  “Dari mana lo tau kalau gue ada di mushola?” tanya Netra masih dengan napas yang terengah-engah. Dia tadi benar-benar berlari ke ruang siaran.

  “Feeling aja. Ayo buruan ke tempat parkir. Keburu pensinya mulai,” tegas Aldi, hiperbola.

  Aldi melangkah duluan, meninggalkan Netra di belakangnya. Netra menggerutu. Dia masih kecapekan karena efek berlarinya. Tidak bisa istirahat sebentar apa? Dia mengikuti langkah Aldi. Netra mencibir di belakang Aldi. Dia berjalan sambil menundukkan kepala dan menghentak-hentakkan kedua kakinya. Hingga dia tidak sadar kalau Aldi menghentikan langkahnya. Tabrakan antara mereka pun tidak bisa dihindari.

  “Aduh, kalau mau berhenti itu ngobrol, dong!” seru Netra.

  Karena tabrakan tersebut, kepala Netra bertubrukan dengan sesuatu yang dingin.

  Eh, dingin?

  Barulah Netra mendongakkan kepalanya. Matanya disuguhi pemandangan sebuah botol pocari dingin.

  “Makanya kalau jalan itu lihat depan, jangan nunduk sambil marah-marah kayak tadi. Nih, dinginin kepala lo dengan minum ini. Masih utuh kok belum gue ludahin.”

NetraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang