Aldi tidak menemukan Netra di mana pun. Sehingga dia harus membuat keputusan dengan menemui Ucay dan kawan-kawan sendirian. Aldi baru saja naik ke atas motornya ketika ponselnya berbunyi. Pertanda ada panggilan masuk. Ketika dia mengambil ponsel di kantong celananya, dia tertegun sejenak. Nama Marsha muncul di layar ponselnya.
Aldi bahkan tidak ingat kalau dia masih menyimpan kontak Marsha dalam ponselnya. Cukup lama dering itu berbunyi, namun Aldi masih terdiam di tempat dengan mata yang terpaku pada layar. Tak lama kemudian dering itu berbunyi kembali. Di tengah-tengah perdebatan antara menjawab atau tidak panggilan dari Marsha, jari tangannya tidak bisa berkompromi. Dia seolah bergerak sendiri tanpa disuruh pemiliknya. Jari tangannya bergerak menyentuh layar ponsel untuk menerima panggilan tersebut.
Dia mendekatkan ponselnya pada telinganya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sekedar mengucapkan salam atau halo-pun tidak. Perempuan di seberang sana juga sama saja. Dia masih bungkam sejak teleponnya diterima oleh Aldi. Di satu sisi, si perempuan menunggu si pria menyapanya dengan mengucapkan salam sementara si pria enggan memberi salam. Dan, keduanya adalah tipe orang yang keras kepala sehingga jika salah satu dari mereka tidak menyerah, maka tidak akan ada perubahan.
Si perempuan-lah yang akhirnya memilih untuk menyerah. Marsha menghela napas panjang lalu memanggil nama pria yang dulu sempat dekat dengannya. "Aldi."
Jantung Aldi tidak bisa berbohong. Jantungnya masih saja bisa merasakan desiran aneh itu hanya dengan mendengar suara Marsha yang memanggil namanya.
Aldi tidak menjawab namun telinganya masih setia mendengarkan.
"Aldi kemarilah. Temani aku," pinta Marsha.
Aldi merutuki dirinya sendiri yang masih bisa merasakan kerinduan di sela-sela ulu hatinya hanya karena kalimat manis dari Marsha. Ini tidak boleh terjadi, tidak boleh semua usaha yang dilakukannya beberapa tahun belakangan hancur percuma karena sebuah permintaan.
Sebuah permintaan yang dibuat-buat. Aldi tahu itu, Marsha tidak benar-benar membutuhkannya saat ini. Wanita itu tidak pernah tulus padanya. Dia baru mencari Aldi ketika pria lain tidak bisa menemaninya. Segampang itukah Aldi?
Buku-buku jari Aldi mengepal dengan erat. Harga dirinya sebagai seorang lelaki telah diinjak-injak dengan seenaknya oleh Marsha.
"Kenapa harus gue?"
Marsha menjawab kalimat dingin Aldi dengan suara isakan tertahan, "A-Aldi ..., tolong kemarilah. Aku sendirian di sini. A-aku ta-takut Aldi. Mereka meninggalkan aku sendirian di sini. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain kamu."
Isakan pelan Marsha semakin keras. Aldi tidak bisa menebak apakah Marsha memang menangis ketakutan atau hanya ber-acting. Tapi bayangan Marsha yang sendirian di rumah besarnya, mengusik pikiran Aldi. Marsha takut berada di rumah itu sendirian saja.
Buku-buku jari tangan Aldi memutih karena mengepal dengan erat. Dia dihadapkan dengan dua pilihan. Yaitu tidak menghiraukan rengekan Marsha atau pilih mendatangi Marsha, hanya sekedar mengecek kondisinya. Jika dia memilih opsi kedua berarti dia akan kembali jatuh dalam masa lalunya dengan Marsha. Dia harus menerima konsekuensi akan terikat lagi oleh wanita yang mati-matian dia hapus dari kehidupannya.
"Tolong, Aldi. Kamu sudah berjanji padaku." Suara Marsha terdengar penuh dengan permohonan. Dia seperti sedang tidak berdaya di seberang sana. Suara lembut itu meruntuhkan semua pertahanan yang dibuat Aldi.
Aldi mematikan telepon Marsha lalu melajukan motornya dengan kencang. Pikirannya berkecamuk, memikirkan kondisi wanita yang baru saja menghubunginya.
Dia berdecak sebal. Aldi membodohi dirinya sendiri karena dia kembali jatuh di lubang yang sama.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Netra
Teen Fiction"Denger kata-kata gue ini ya, sebagai temen, demi meredam kegilaan kalian, gue janji gue bakal cari kelemahan Aldi!" ucap Netra mantap. ---- "Bagi duit, Bang." "Eh, duit buat apaan?" Satrio memekik. "Buat beli kacamata sama topi. Cepek aja, deh." "B...