Setelah menempuh waktu sekitar satu jam lamanya berada di udara, akhirnya Netra menginjakkan kakinya di Bandara Juanda dengan selamat. Dia ada di Surabaya bersama dengan Mas Ian. Netra mencangklong tas ransel di punggungnya. Tidak banyak barang yang dia bawa karena dia memang hanya akan berada di kota ini sehari saja. Mungkin nanti malam dia pulang. Karena besoknya dia harus kembali masuk sekolah. Atau kalau dia tidak mendapatkan tiket pesawat pulang, mungkin dia akan membolos esok hari. Dia hanya membawa satu setel baju ganti dan beberapa perlengkapan perempuan lainnya di dalam tas. Di sampingnya, Ian berjalan dengan mencangklong kerilnya yang berukuran 45L. Netra menyalakan kembali ponselnya. Ponselnya sudah dia matikan sejak masuk ke dalam pesawat.
Ada beberapa pesan dari teman-temannya dan Satrio. Teman-temannya menanyakan apakah Netraavailable hari ini karena mereka mau mengajak Netra untuk kumpul-kumpul. Netra memang sengaja tidak mengabari teman-temannya mengenai kepergiannya ke Surabaya supaya mereka tidak heboh. Netra membuka pesan dari Ayu dan membalas bahwa dia tidak ada di rumah hari ini. Lalu ada pesan dari Satrio yang menanyakan apakah Netra sudah sampai di Surabaya dengan selamat. Tak lupa Satrio mengirimi Netra daftar pesanan yang harus Netra beli selama Netra di Surabaya.
Memangnya Netra di sini untuk piknik?
Netra membalas dengan mengirimi Satrio sebuah foto pemandangan di dalam bandara. Kemudian ada pesan yang paling penting yaitu pesan dari Mamanya Netra. Kemarin sore, sepulangnya dari kafe setelah Ian memberikan tiket pesawat untuk Netra, gadis itu langsung mengabarkan Mamanya tentang rencananya untuk pergi ke Surabaya. Mengunjungi makam Ibunda Ian. Mamanya Netra pun langsung mengatakan bahwa beliau yang akan menjemput Netra dan Ian di bandara.
“Mama kamu sudah datang belum, Net?” tanya Ian.
Netra kemarin sudah mengabarkan pada Ian bahwa Mamanya akan menjemput mereka.
“Sudah di depan katanya, Mas,” jawab Netra.
Beberapa langkah kemudian, Netra menemukan sosok Mamanya berdiri di sana. Mamanya sedang mengedarkan matanya kepada orang-orang yang keluar dari terminal kedatangan.
“Mama!” seru Netra sambil melambai-lambaikan tangan kepada Mamanya. Karena seruannya itu, Mamanya Netra akhirnya menemukan Netra. Netra berlari-lari kecil menuju Mamanya. Ian berjalan dengan santai di belakangnya.
Setelah berada tepat di depan Mamanya, Netra langsung memeluk Mamanya. “Kangen.”
Mama Netra tertawa-tawa mendapati anak perempuannya yang mendadak jadi manja. “Welcome to Surabaya.”
Lalu Riska—Mamanya Netra—menoleh pada seseorang yang berjalan di belakang Netra. “Ian,” sapanya.
Ian pun segera memberi salam pada Riska. “Terima kasih sudah menjemput kami, Tante.”
Riska tersenyum. Sepertinya hubungan Netra dan Ian baik-baik saja. Apakah dua orang itu sudah membicarakan kelanjutan hubungan mereka? Anak perempuannya belum cerita banyak mengenai hal itu.
“Kalian mau langsung atau istirahat dulu?”
Netra langsung menyerobot, menjawab pertanyaan Mamanya. “Makan dulu dong, Ma. Laper ini. Ya, Mas Ian?”
Ian hanya mengangguk saja, menuruti kemauan Netra.
Riska tertawa pelan lalu menggandeng tangan anak bungsunya ini. “Oke, makan dulu.”
Ian menyusul di belakang pasangan ibu dan anak tersebut. Semenjak mendarat dari pesawat tadi, Ian berubah menjadi seorang lelaki yang pendiam. Netra juga beberapa kali memergoki Ian melamun. Bukan hanya ketika mendarat saja, Ian juga sudah mulai jadi pendiam ketika mereka berdua berada di dalam pesawat. Ian memilih untuk menutup matanya, dia tertidur. Setelah sebelumnya memberi alasan pada Netra bahwa dirinya kurang tidur karena kemarin malam begadang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Netra
Teen Fiction"Denger kata-kata gue ini ya, sebagai temen, demi meredam kegilaan kalian, gue janji gue bakal cari kelemahan Aldi!" ucap Netra mantap. ---- "Bagi duit, Bang." "Eh, duit buat apaan?" Satrio memekik. "Buat beli kacamata sama topi. Cepek aja, deh." "B...