Bab 7 - Dunia Memang Sempit

3.1K 251 5
                                    

Netra menjilati es krimnya dengan nikmat seolah itu adalah es krim yang paling enak sejagat raya. Sebenarnya rasanya biasa saja, namun orang yang membelikannya itulah yang membuat es krim itu menjadi istimewa. Es krim itu dibelikan oleh Satrio. Abang semata wayangnya yang notabenenya sangat jarang menraktirnya makanan.

  “Sat, enak banget, Sat. Jarang-jarang ini gue bisa makan es krim hasil dari dompet lo.”

  “Biasa aja kali makan es krim. Sampe belepotan gitu,” cibir Satrio sedikit tersinggung.

  “Eits, nggak bisa biasa! Lo itu jarang banget nraktir gue. Jadi ini ....” Netra menunjuk es krim di tangan kanannya, “Berasa makanan terlezat di dunia. Yummy.” 

  Netra menyapukan lidahnya ke bibirnya.

  Satrio menarik rambut Netra yang dikuncir kuda, “Bawel. Malu-maluin tingkah lo. Elo itu nyindir apa muji?”

  “Muji ini. Tulus, suer.” Netra cengar-cengir saja melihat abangnya yang cemberut.

  Satrio makin gemas dengan adiknya. Jadi ceritanya, Satrio merasa bersalah karena sudah mengganggu tidur sore Netra. Tadi Satrio membangunkan Netra untuk menemaninya berbelanja pakaian ke mall. Oleh karena itu, untuk menebus rasa bersalah setelah menyeret Netra dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya, Satrio sengaja membelikannya es krim. Sekali-kali menyenangkan adik perempuannya seperti ini perlu juga. Apalagi hanya dengan satu cone es krim, Netra sudah bersemangat kembali. Tidak seperti tadi, dia berjalan dengan muka terkantuk-kantuk.

  Ketika sedang asyik-asyiknya bercinta dengan es krimnya, Netra dikagetkan oleh sebuah nama yang keluar dari mulut Satrio.

  “Aldi!” seru Satrio. Netra celingukan melihat ke segala arah.

  Hah, Aldi di sini?

  Netra tidak menyangka akan bertemu Aldi di mall yang sama dan waktu yang sama pula. Sebuah istilah yang mengatakan bahwa dunia itu sempit, ternyata memang benar adanya.

  “Hei, Bang. Lagi sama siapa?” Suara Aldi terdengat sangat dekat.

  “Sama Netra,” jawab Satrio.

  Di belakangnya, Netra merasakan ada langkah kaki yang berjalan mendekat ke arahnya. Bulu kuduk Netra merinding. Dia menoleh ke belakang sambil menelan ludahnya.

  Dia berjengit kaget menyadari Aldi sudah berdiri di depannya, bersama dengan seorang perempuan yang sangat cantik. Netra mundur selangkah untuk memperlebar jarak dengan Aldi.

  “Hai, Net,” sapa Aldi.

  Yang disapa hanya meringis canggung. Sebelumnya Netra belum pernah saling sapa dengan Aldi. Rasanya kok ... aneh.

  “Pacar lo nih, Di?” Satrio menunjuk perempuan yang berdiri di dekat Aldi dengan dagunya.

  Bukannya menjawab pertanyaan, Aldi hanya tersenyum, tidak menggeleng atau pun mengangguk. Perempuan cantik itu juga diam. Namun tangan yang saling menggandeng itu menjawab semuanya. Saat Netra melihat tangan kanan Aldi yang menggenggam tangan kiri perempuan di sampingnya, Aldi segera melepas gandengan tangannya. Pria itu berpura-pura menggaruk tengkuknya. Netra mengernyit, memperhatikan tingkah Aldi.

  “Habis belanja apa lo, Bang?” tanya Aldi untuk merubah topik pembicaraan.

  “Ini?” Satrio mengangkat plastik belanjaannya, “Nemenin Netra belanja, nih. Bawel banget adek gue satu ini, maksa-maksa gue mulu. Suruh nganter kemall.” Satrio tertawa-tawa. Netra dengan santainya menginjak kaki Satrio sehingga abangnya itu mengaduh.

  “Idih, fitnah. Lo kali yang ganggu tidur sore gue.” Netra melipat kedua tangannya di depan dada. Dia bete.

  Satrio yang melihat wajah Netra yang menunjukkan tanda-tanda bosan pun akhirnya berpamitan pada Aldi, “Ya udah deh, Di. Daripada lo lihat kita ribut di sini. Gue sama Netra cabut duluan ya.” Satrio menepuk-nepuk pundak Aldi. Satrio menarik tangan Netra untuk menjauh.

  Aldi mengangguk lalu melambaikan tangannya. Mereka pun berpisah.

  “Ngapain sih lo injek kaki gue?” protes Satrio ketika mereka sudah berpisah cukup jauh.

  “Salah sendiri jadiin gue kambing hitam. Padahal gue bukan kambing dan kulit gue nggak item.” Netra melengos berjalan mendahului Satrio. Tapi beberapa langkah kemudian, dia berbalik untuk menatap abangnya, “Cewek tadi beneran pacarnya, Bang?”

  Satrio mengedikkan bahu, tidak peduli. 

  “Nggak tahu deh. Ngapain lo tanya-tanya? Nggak biasanya lo kepo sama Aldi,” selidik Satrio.

  “Tanya doang. Elah, susah ya jadi gue. Salah mulu di mata lo, Sat.” Netra berbalik lagi. Dia berpikir dalam diamnya. Kalau memang benar perempuan cantik tadi adalah pacar Aldi, Netra tidak bisa membayangkan reaksi teman-temannya begitu mengetahui bahwa idola mereka tidak single lagi.

  “Eh, Sat, lo kenal nggak sama cewek itu?”

  Sebenarnya Netra sedikit tidak enak memanggil dengan sebutan ‘cewek itu’, tapi bagaimana lagi, Netra belum tahu namanya. Dia berharap abangnya mengenal perempuan itu. Secara, pergaulan Satrio kan lumayan luas dan kenalannya banyak. Dulunya dia aktif di sekolah, pas kuliah dia juga aktif di organisasi kampusnya. Hampir semua orang yang ditemui Netra mengenal Satrio.

  “Kenal sih enggak. Tadi kan gue sama dia juga nggak saling sapa, Net. Gue cuma tahu namanya. Dia Anggie, anak komunikasi semester lima di kampus gue.”

  Mulut Netra sedikit menganga. Anggie itu senior Satrio. Jadi Aldi pacaran sama anak kuliahan? Netra baru tahu kalau selera Aldi itu perempuan yang lebih tua.

***

Update-nya segini dulu ya, gaesss. Besok lagi dilanjut :*
Salam sayang.

NetraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang