Bab 41 - Netra, Ian, dan Kecebong

2.8K 163 19
                                    

Netra, kelas 1 SMP

Hari sudah siang menjelang sore. Matahari yang semula menampakkan keagungannya menyinari dunia, sudah mulai bergerak perlahan untuk menghilang di ufuk barat. Bocah-bocah sekolah yang semulanya berkeliaran di sekitar sungai sebagian besar sudah kembali ke rumah masing-masing. Netra termasuk dalam sebagian kecil yang masih menetap di pinggir sungai.

Netra duduk berjongkok menatap ke sungai kecil yang berada di dekat SMP-nya sambil menggenggam sebuah ranting pohon. Dia masih mengenakan seragam putih dan rok biru tuanya. Sesekali dia mengetuk batu-batu di pinggir sungai dengan ranting. Lalu ketika genangan air sudah tenang kembali, dia memasukkan ranting pohon itu ke dalam air sungai lalu menggerak-gerakkannya supaya airnya bergelombang lagi. Gerakannya itu menciptakan beberapa butir air menciprat ke atas dan mengenai tubuhnya. Namun Netra tidak peduli. Netra sedang bermain-main dengan hewan kecil yang berenang-renang dengan bebas di pinggir sungai.

Kecebong.

Iya, dia bermain-main dengan kecebong yang berenang ke sana kemari. Ketika Netra menggerakkan ranting pohon di kanan, gerombolan kecebong itu akan berlarian ke kiri. Saat itulah Netra akan menghadang mereka kembali di kiri. Lalu Netra memasukkan rantingnya kembali lalu menggoyang-goyangkannya di dalam air.

"Hayo ... mau lari ke mana, kalian?" Mata Netra memperhatikan gerakan ikan kecil yang mempunyai ekor itu dengan jeli.

Kecebong atau nama lainnya berudu adalah anak kodok yang dilahirkan dari telur kodok. Lalu dari telur itu berubah menjadi larva yang mandiri mencari makan tanpa bergantung pada induknya.

Ketika perhatian Netra tengah terpusat pada hewan-hewan kecil yang berlarian di dalam air, dia jadi tidak fokus pada langkah kakinya. Netra tidak memperhatikan batu-batu di pinggir sungai yang dipijaknya. Kakinya menapak pada batu yang licin. Tanpa bisa dia hindari, dia tergelincir oleh batu tersebut.

Sepertinya ini adalah karma dari ulahnya yang mengganggu ketenangan dari para kecebong yang sedang bersantai-santai dan berkongkow-kongkow dengan gerombolan mereka.

"Uwa!" serunya tertahan. Jantungnya serasa berhenti berdetik selama sepersekian detik. Netra menutup kedua matanya. Netra sudah membayangkan dirinya tercebur dalam sungai yang airnya keruh di depannya ini. Dia dengan kondisi memalukan, basah kuyup dan bau. Bayangan Mamanya yang pasti akan menjewer kupingnya, Papanya yang memarahinya, Satrio yang menertawakannya habis-habisan lalu dirinya yang pasti disuruh mencuci seragamnya sendiri muncul secara bergantian dalam benaknya.

Pada saat itulah, seseorang datang menolong Netra. Kalau diceritakan dalam drama action, sebuah tangan yang datangnya entah dari mana, menyambar tangannya lalu menariknya. Selanjutnya keduanya berguling-gulingan di atas rumput hijau dan berakhir dengan saling berpelukan di atas rumput. Eh, kenapa jadi drama romantis ya?

Sayangnya, bukan seperti itu kejadian yang dialami Netra. Memang ada yang menarik tangan Netra supaya tidak jatuh ke sungai, namun mereka—Netra dan si penolong tidak berguling-gulingan. Tubuh Netra terseret ke belakang lalu menubruk tubuh seseorang yang menolongnya, lalu keduanya sama-sama terjatuh ke atas rumput. Terjatuh, bukan saling berpelukan atau saling menimpa tubuh satu sama lain. Mereka berdua terjatuh dengan pantat masing-masing yang duluan menyentuh ke tanah.

"Aduh!"

Suara seseorang yang mengaduh, mengalihkan perhatian Netra dari rasa sakitnya sendiri. Suara berat khas dari seorang laki-laki dewasa. Netra langsung menoleh pada penolongnya yang sedang terduduk di sampingnya. Netra memperhatikan pria di depannya yang sedang meringis kesakitan. Dan ketika dia mendongakkan kepalanya, Netra akhirnya bisa melihat wajah pria itu dengan jelas.

NetraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang