"Sorry."
"Oya, besok bakal nyanyi lagu apa?" tanya Aldi mencoba mengacuhkan permintaan maaf Netra. Aldi ingin memberikan sedikit pelajaran pada Netra.
Di sisi lain Netra menghentakkan kakinya dongkol. Netra yakin Aldi mendengar kata maaf yang diucapkan Netra dengan suara lirih. Cih, Netra berdecih. Gengsinya terlalu tinggi untuk mengatakan sorry dan Aldi menjatuhkan harga diri Netra dengan mengacuhkannya. Celaka dua belas!
"Nggak tau, Bang. Masih kita pikirin mau nyanyi lagunya siapa." Musa mewakili teman-teman lain untuk menjawab. Sebenarnya mereka sudah mempersiapkan beberapa lagu yang akan mereka tampilkan. Hanya saja mereka masih berlatih sambil memilih lagu mana yang sekiranya cocok. Tentu mereka memilih lagu-lagu yang cocok untuk didengar siswa-siswa SMA pada umumnya. Tapi percayalah mereka mampu mengaransemen dengan sederhana namun memukau.
"Ya udah dilatih dulu aja. Nanti kalau udah nentuin lagunya biar gue sama Netra yang nilai bagus apa enggaknya. Oh iya, besok gue bawa alat musik buat Musa, kan nggak enak kalau Musa harus mukul-mukul bangku kayu. Kalau perlu besok latihan di studio musik biar suaranya jelas ya."
"Terima kasih, Bang." Musa mengacungkan jempolnya pada Aldi.
Anak-anak yang lain mengangguk secara bersamaan. Mereka terlihat patuh pada segala omongan Aldi.
Netra duduk di sebuah kursi di samping mereka. Dia mencoba memulai obrolan santai dengan para pengamen kecil itu.
"Kalian kok hebat banget main musiknya, yang ngajarin siapa?"
"Dulu abang saya juga pengamen, Mbak. Jadi saya minta diajarin gitar sama dia biar bisa ngamen juga, terus saya ngajarin Eko sama Ucay," jawab Joni.
Netra mengangguk-angguk, "Kalau Ucay, suara kamu kok bisa keren banget gitu. Makannya apa sih, aku pengen punya suara keren kayak kamu. Nggak kayak suara aku yang kayak kucing kejepit sekarang ini," cerocos Netra.
Lalu terdengar dengusan lagi dari arah samping. Ternyata Aldi mendengus geli karena perkataan jujur dari Netra.
Netra memberi Aldi lirikan tajam. Aldi malah menyindirnya dengan meniru suara kucing.
"Meong ... meong."
Sialan. Netra jadi teringat tragedi dirinya yang kepergok sedang mencuri dengar di gedung belakang sekolah.
Netra kembali memusatkan perhatiannya pada Ucay. Bocah pemalu itu sedang menggaruk-garuk tanah dengan ujung sepatunya. Aduh, dia sedang malu ternyata.
"Ibu saya dulu mantan penyanyi kampung, Mbak. Mungkin saya dapat suara kayak gini dari ibu saya."
"Lalu sekarang ibu kamu masih menyanyi?"
"Udah enggak, Mbak. Ibu sekarang jadi buruh cuci. Kasihan Mbak kerja jadi penyanyi kampung. Banyak bapak-bapak yang godain dan beberapa ibu-ibu yang gosipin nggak jelas. Ibu saya nggak tenang hidupnya jadi pilih berhenti aja."
Netra mengelus-elus lembut kepala Ucay. "Jadi penyanyi kampung bukan pekerjaan yang tercela, Cay. Kamu harus tahu itu. Hanya saja memang ada beberapa yang memandang tidak baik. Ibu kamu nggak salah kok. Lalu kamu sendiri masih sekolah?"
Ucay mengangguk, "Masih, Mbak. Saya kelas 3 SMP. Dulu saya sempet tinggal kelas setahun karena pilih jadi pengamen. Tapi ibu saya nyuruh saya tetep sekolah."
"Ya bener banget itu ibu kamu. Ucay memang masih harus sekolah kan. Kalau bisa lanjutin sampai SMA. Jangan putus sekolah." Ujar Netra. Kemudian dia beralih menatap ke anak-anak lain. "Kalian juga masih sekolah kan?"
"Masih, Mbak." Mereka menjawab dengan serempak.
"Bagus! Ih, Mbak bangga deh sama kalian. Pokoknya jangan lupain tugas kalian sebagai murid sekolah. Kalian harus tetep rajin ke sekolah." Netra tersenyum bangga ketika melihat wajah-wajah bocah di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Netra
Teen Fiction"Denger kata-kata gue ini ya, sebagai temen, demi meredam kegilaan kalian, gue janji gue bakal cari kelemahan Aldi!" ucap Netra mantap. ---- "Bagi duit, Bang." "Eh, duit buat apaan?" Satrio memekik. "Buat beli kacamata sama topi. Cepek aja, deh." "B...