Bab 51 - Thank God, He is Fine

2K 156 18
                                    

Hanya lecet-lecet saja? 

  Ya, Aldi tidak tertabrak mobil. Ketika dia mendengar teriakan Genta dan jeritan Marsha, otaknya langsung memerintahkan dirinya untuk melempar tubuhnya ke belakang. Mobil yang tiba-tiba muncul dari arah kiri itu langsung menghentikan laju jalannya. Untunglah si sopir sempat memperhatikan Aldi yang tiba-tiba muncul dari balik kios penjual gorengan di pojok sekolah. Refleks si supir lumayan cepat, dia langsung menginjak rem sehingga mobil berhenti. 

  Aldi yang melempar tubuhnya ke belakang, terjatuh di pinggir jalan yang penuh kerikil. Dia tidak luka parah akibat terjatuh. Untungnya kepalanya tidak terbentur di aspal sehingga dia tidak jatuh pingsan dan mengalami pendarahan di kepala. Aldi terjatuh dengan posisi siku lengannya dan tubuh belakang yang menopang tubuhnya. Beberapa orang di sekitarnya menghampiri Aldi untuk mengecek kondisi Aldi. Genta membantu Aldi untuk terbangun dari jalanan berkerikil. Aldi pun pelan-pelan bisa berdiri. 

  Setelah bangun Aldi memastikan kalau dirinya tidak terluka parah. Aldi tidak pusing dan juga tidak mual. Yang terlihat hanya lecet-lecet pada siku lengan, telapak tangan, punggung tangan kiri, dengkul, dan lecet – lecet pada kulit pinggang. 

  “Lo nggak apa-apa, Di?” tanya Genta. 

  Aldi menggelengkan kepalanya pelan. Sepertinya diashock dengan kejadian yang baru dialaminya. Jantungnya seakan jatuh ke perut ketika melihat mobil yang melintas di depan matanya. Si supir mobil menghampiri Aldi. Dia membersihkan luka-luka Aldi dengan air bersih dari botol minuman. 

  “Bagaimana bisa nggak apa-apa? Ayo Aldi, harus segera dibawa ke rumah sakit, takut tulang belakangnya kenapa-kenapa dan dia ada pendarahan. Bisa fatal nantinya,” seru Marsha, panik. 

  Genta setuju dengan usul Marsha. Aldi harus segera dibawa ke rumah sakit untuk membalut luka-luka lecetnya dan mengecek apakah ada tulangnya yang retak. Saat ini UKS di sekolah sudah tutup, dokter jaga UKS juga sudah pulang. 

  “Mari saya antar ke rumah sakit,” tawar si pengemudi mobil yang ternyata seorang pria muda yang kemungkinan berumur sekitar dua puluhan tahun. 

  Genta langsung memapah tubuh Aldi untuk masuk ke dalam mobil. Marsha mengikuti Aldi dan Genta, masuk ke dalam mobil. 

  “Lo tadi lari sambil teriak manggil nama Netra. Lo ngejar Netra, Di?” tanya Genta. 

  Aldi diam saja, tidak menjawab pertanyaan Genta. Malah Marsha yang menyambar. “Jadi gara-gara tadi ngejar Netra kamu jadi hampir ketabrak mobil, Al? Terus sekarang Netra di mana?” 

  Aldi masih diam saja. Matanya memperhatikan goresan-goresan luka di telapak tangannya. Goresan-goresan itu memerah karena warna darah. Ketika Aldi mencoba menggenggam tangannya, dia meringis. Nyeri, perih, dan sakit rasanya. 

  Tiba-tiba dia membodohi dirinya sendiri yang seolah kehilangan akal sehat. Dia berlari mengejar Netra tanpa memperhatikan keadaan jalan di sekitarnya. Kalau saja tidak ada Genta dan Marsha yang meneriaki namanya, pasti kejadiannya akan lebih fatal dari ini. Dan, apa yang 
dia dapatkan? Netra, gadis itu, menoleh pun tidak. Gadis itu tidak mendengar suara panggilannya. Hanya lecet-lecet di sekujur tubuh yang Aldi dapatkan. Miris rasanya. 

  **** 

  Setibanya di rumah sakit, Aldi langsung mendapatkan perawatan dari seorang perawat yang berjaga. Luka-luka pada tangan Aldi dibersihkan dari aspal dan pasir. Luka-luka lecet perlu dibersihkan dari debu, pasir, kerikil, tanah dan partikel-partikel kotoran lain yang biasanya ada di jalan. 

  Kemudian bagian terparah pada telapak tangan dan siku dibalut dengan perban untuk sementara. Kulit sikunya sedikit mengelupas. Ini bertujuan agar bagian tubuh yang terluka tidak terpapar debu dan polutan. Menurut perawat, luka lainnya yang ringan cukup diberikan Betadin 
saja. 

NetraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang