"Netra." Suara panggilan Satrio terdengar di luar kamar Netra. Lalu dilanjutkan oleh sebuah ketukan pada daun pintunya.
Netra yang sedang mengeringkan rambutnya di dalam kamar, menoleh ke arah pintu. Dia baru saja pulang dari makan siang bersama Ian, sepulang sekolah dan langsung memutuskan untuk mandi. Tubuhnya terasa segar kembali.
Netra berjalan menuju pintunya lalu memutar engsel pintu. Ketika membuka pintu, wajah Satrio muncul di depannya dengan sebelah tangan memegang ponsel yang dia dekatkan pada telinganya.
Netra menatap Satrio datar. "Ada apa?"
"Baru mandi, ternyata, Ma." Satrio berbicara pada seseorang yang ada di sambungan telepon. Netra tahu kalau itu pasti Mama. Satrio menjauhkan ponsel dari telinganya lalu melirik Netra. "Mama mau bicara, tadi telepon ke handphone lo nggak tersambung. Mau pakai handphone gue dulu atau lo telepon Mama?" tanya Satrio.
"Pakai handphone lo aja, deh. Punya gue mati deh kayaknya."
Satrio pun mengulurkan ponselnya lalu Netra segera meraihnya.
"Nanti balikin lagi. Gue di dalam kamar," pesan Satrio sebelum dia berbalik.
Netra mengangguk saja lalu menutup pintu kamarnya lagi. Dia masuk ke dalam kamarnya sambil menyapa Mamanya. "Halo, Ma?"
Suara hangat Mamanya menyambut dirinya. "Apa kabar kamu, Sayang? Kenapa ponsel kamu tidak bisa dihubungi?"
Aih, Netra kangen Mamanya.
Netra duduk di kasurnya. "Hape aku ada di dalam tas, Ma, entahlah Netra belum cek, mungkin mati. Low bat."
"Sudah makan siang?"
"Sudah, Ma. Tadi makan bakso sama Mas Ian," terang Netra. Dia tidak ingin menyembunyikan perihal kedatangan Ian pada Mamanya. Lagipula Mamanya mungkin sudah menduga kalau Ian datang ke kota ini, menemui Netra. Bukankah Mama Netra juga yang menyuruh Ian menemuinya?
"Kamu sudah bertemu Ian, ya, Sayang?" tanya Mama.
Netra mengangguk, namun kemudian dia sadar bahwa Mamanya tidak melihat anggukannya. "Iya, Ma. Kemarin sore aku nggak sengaja ketemu Mas Ian."
"Nggak sengaja? Hemm ...." Mama Netra menggantungkan kalimatnya, lalu beliau melanjutkan, "Mungkin takdir juga ingin mempercepat kalian untuk menyelesaikan sesuatu yang terbengkalai di masa lalu."
Netra diam saja. Sesuatu yang terbengkalai? Takdir? Saat itu, dirinya masih kelas 3 SMP, masih belum mengerti tentang perasaannya. Dulu yang dia inginkan hanya bahagia. Netra bahagia dan orang-orang di sekitarnya bahagia. That's it. Itu saja cukup. Oleh karena itu dia mengiyakan permintaan ibu Ian.
Tapi setelahnya, Ian malah memilih untuk pergi. Pria itu seakan menghindarinya. Dulu Ian menggenggam tangan Netra ketika ibunya mengucapkan permintaan. Dulu Netra kira, Ian akan tetap ada di samping Netra untuk menjalankan permintaan ibunya. Dulu Netra pikir Ian mencintainya. Semua kedekatan dan rasa saling memiliki antara keduanya. Apakah Netra salah mengartikan itu semua?
Sekali lagi, Netra menegaskan. Dia masih kelas 3 SMP saat itu. Dan itu adalah cinta pertamanya. Cinta monyetnya. Awalnya memang begitu manis dan lugu. Namun mengapa akhirnya begitu rumit hingga dirinya masih terikat sampai sekarang?
Kemudian sekarang, dua tahun lebih lamanya setelah Ian hilang tanpa kabar bagai ditelan bumi, Ian muncul lagi. Perasaan yang dulu dipaksa untuk tidur oleh Netra, terasa terusik, dia pelan-pelan bangkit lagi. Dulu Ian sempat membawa pergi separuh hatinya ketika pria itu menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Netra
Teen Fiction"Denger kata-kata gue ini ya, sebagai temen, demi meredam kegilaan kalian, gue janji gue bakal cari kelemahan Aldi!" ucap Netra mantap. ---- "Bagi duit, Bang." "Eh, duit buat apaan?" Satrio memekik. "Buat beli kacamata sama topi. Cepek aja, deh." "B...