“Eh, terus sebenarnya dia siapa? Apa gue yang sedang jadi pengganggu di sini?”
Aldi berdeham, “Untuk pertanyaan lo yang kedua, jawabannya nggak. Jangan pernah merasa kalau lo pengganggu di antara gue dan Marsha. Jangan pernah terintimidasi oleh tatapan matanya.”
Netra menunduk lalu memperhatikan jari-jari kedua tangannya yang bertautan. Ternyata sedari tadi mereka bertautan. Takutkah mereka? Apakah tadi Netra menunjukkan raut wajah ketakutan sehingga Aldi bisa menebak kalau Netra sedang terintimidasi?
Netra bukanlah seorang perempuan penakut!
“Lalu untuk pertanyaan pertama ….” Aldi memberi jeda pada kalimatnya, menunggu Netra memintanya untuk melanjutkan. Netra meminta dengan cara mendongakkan kepala lalu menatap muka Aldi.
“Dia mantan gue.” Mata Aldi beralih keluar.
Netra mengikuti arah pandang Aldi. Di luar sana, matanya terpaku pada satu sosok perempuan. Di sana, Marsha terlihat sibuk berbicara dengan tukang kebun di sekolah Netra. Mereka terlihat akrab. Kalau begitu Marsha adalah ….
“Dia alumni di sini. Lulus dua tahun yang lalu,” jawab Aldi tanpa diminta.
Dua tahun yang lalu? Dua tahun … angka itu mengingatkan Netra akan sesuatu. Ditambah dengan ekspresi sedih Aldi kali ini, benang-benang ruwet yang mulanya berserakan di kepala Netra sedikit demi sedikit mulai terjalin rapi. Netra mulai bisa menyimpulkan hubungan antara Aldi dan Marsha.“Marsha yang mutusin elo secara sepihak ya? Lo ditinggalin sama dia?” tembak Netra to the point. Netra mengungkapnya isi pikirannya tanpa tahu apa akibatnya bagi Aldi.
“Atas dasar apa, elo bisa bilang begitu?” Aldi menatap mata Netra dengan tajam. Matanya seolah ingin menusuk dan mencabik-cabik tubuh Netra. Namun Netra tidak gentar sedikit pun, pandangan Aldi padanya malah membuat Netra semakin berani mengungkapkan pemikirannya.
Dengan santai Netra berdiri dari tempat duduknya dan menantang mata Aldi. Sebelum memulai pertempuran mulut, dia membuat kesan meremehkan dengan berdecak, “Gue maklum sih, kalau Marsha mutusin lo. Mana ada perempuan yang tahan diduain sih, lo kan playboy abis.”
Yang selanjutnya terjadi, Netra tidak tahu bagaimana persis dan detailnya. Yang tertangkap di mata Netra adalah gerakan cepat dari Aldi. Dia langsung beranjak dari kursinya lalu mendekati Netra. Tangannya mengangkat dagu Netra. Tubuh Netra merinding ketika merasakan kulit Aldi yang menyentuh dagunya. Jantung Netra berdetak tidak keruan seperti ada seseorang yang memompanya untuk berdetak lebih cepat dari biasanya.
Wajahnya sangat dekat dengan wajah Netra. Matanya masih memandang mata Netra tajam. Bibir tipisnya mengeluarkan serangkaian kalimat dingin. Netra dibuat semakin merinding karenanya. Entah kenapa di mata Netra, Aldi terlihat menyeramkan.
“Lo nggak tahu apa-apa, Net. Lo nggak tahu yang terjadi sebenarnya antara gue dan Marsha, jadi jangan seenaknya menghakimi. Marsha bisa seenaknya mempermainkan cowok-cowok di sekitarnya. Lalu kenapa gue nggak?”
Sejenak Netra terdiam membalas tatapan Aldi. Dia sedikit menyelidik ke dalam mata Aldi. Apakah pria di depannya ini sedang berpura-pura atau kata-kata yang bernada cemburu tadi memang keluar dari mulutnya? Netra menemukan percikan amarah yang berusaha diredam oleh Aldi.
Namun sayangnya rasa sebal karena perlakuan Aldi padanya lebih dominan dibandingkan rasa penasaran Netra. Enak saja Aldi menyentuh dagunya lalu memberinya tatapan marah dan dingin. Padahal Netra hanya sedang tidak beruntung saja bisa menjadi orang ketiga antara Aldi dan Marsha. Oleh karena itu, Netra menyentakkan tangan Aldi yang masih memegang dagunya. Dengan satu sentakan keras, tangan itu sudah berpindah tempat ke samping tubuh Aldi. Netra yakin Aldi merasa nyut-nyutan karena pukulan keras di tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Netra
Teen Fiction"Denger kata-kata gue ini ya, sebagai temen, demi meredam kegilaan kalian, gue janji gue bakal cari kelemahan Aldi!" ucap Netra mantap. ---- "Bagi duit, Bang." "Eh, duit buat apaan?" Satrio memekik. "Buat beli kacamata sama topi. Cepek aja, deh." "B...