Netra menatap datar jalanan di sampingnya. Rumah-rumah, pertokoan, pom bensin, lalu tempat-tempat umum lainnya muncul silih berganti. Di sela-selanya ada juga pepohohan yang ditanam di pinggir jalan lalu taman kota. Sore ini dia berada di dalam taksi yang membawanya pulang dari makam Ibu Ian. Tadi setelah Netra menghentikan tangisnya, Ian bercerita kejadian dua tahun lalu. Tidak ada yang ditutupi oleh Ian. Pria itu seolah ingin semuanya clear sehingga tidak ada lagi yang mengganjal antara mereka.“Ponsel aku hilang, mungkin saat pemakaman Ibu dulu. Jadi aku sama sekali tidak tahu mengenal pesan dan telepon kamu. Setelah pemakaman Ibu, aku sempat kembali ke rumahku untuk membereskan barang-barang dan keperluan lain. Saat itu aku masih seperti orang yang linglung sehingga tidak menemuimu, Netra. Aku ingin menenangkan diri di Surabaya, bertemu denganmu membuatku mengingat Ibu dan itu membuatku sedih.”
“Sampai aku tidak sadar kalau yang aku lakukan selama ini hanyalah melarikan diri. Aku ini seorang pria yang pengecut. Aku egois, hanya mementingkan ketenanganku sendiri tanpa memikirkan perasaan kamu. Tapi mengertilah Netra, kamu tetap ada di pikiranku selama aku di Surabaya. Tidak pernah hilang. Kalau saja Tante Riska tidak menemuiku di kantor, aku mungkin tidak akan ada di depanmu seperti sekarang.”
Ian mengusap mukanya dengan telapak tangannya. “Mungkin aku hanya akan membuatmu menungguku lebih lama lagi. Lalu ketika aku melihatmu di kafe, aku seperti mendapatkan sedikit harapan. Mungkin aku masih boleh untuk mencintaimu lagi. Tapi aku sadar kalau aku sudah terlambat.”
Netra hanya menunduk dalam diam. Mungkin saja yang dikatakan Ian benar. Saat Ian datang itu adalah saat Netra sudah putus asa dengan Ian. Mungkin itu juga yang membuat Netra terus meragu.
“Oleh karena itu, aku memutuskan untuk melepas kamu, Netra. Supaya kamu tidak terbeban dengan janji kita di depan Ibu. Aku ingin kamu melanjutkan hidupmy seperti anak remaja pada umumnya. Boleh ya, Bu?” Ian mengelus-elus makam Ibunya. “Ibu tentu juga ingin Netra bahagia bukan? Dengan ataupun tidak bersama Ian. Saat ini Ian ingin melepas janji itu, Ibu. Kalaupun nantinya Netra berjodoh dengan Ian, pasti kami akan dipertemukan. Kalaupun tidak, Ian akan menerimanya dengan lapang. Ian juga ingin Ibu pun begitu. Mari kita biarkan Netra terbang lepas sebagaimana mestinya. Dia masih terlalu muda untuk diberi beban sebuah janji, Bu. Ian tidak ingin memaksa Netra.”
Angin menyambut tubuh mereka dengan lembut. Ian menganggap itu sebagai jawaban dari Ibunya. Ibunya seolah ingin merangkul mereka berdua dengan lembut.
Ian menoleh pada Netra lalu menatap gadis itu dengan lekat. Netra masih menunduk. Lalu tangan Ian mengelus pipi Netra. Saat itulah Ian merasakan bahwa pipi Netra telah basah kembali. Netra mendongak lalu menatap Ian dengan butiran-butiran air mata yang mengalir deras melalui kedua matanya. Bolehkah Ian sekali lagi menghapus butiran kesedihan itu? Ian ingin menghapusnya lalu menggantinya dengan kebahagiaan. Netra sesegukan di sampingnya. Oleh karenanya, Ian memberanikan diri untuk menghapus lelehan air mata itu. Netra memejamkan mata ketika merasakan jari Ian yang menyentuh lembut kedua pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Netra
Teen Fiction"Denger kata-kata gue ini ya, sebagai temen, demi meredam kegilaan kalian, gue janji gue bakal cari kelemahan Aldi!" ucap Netra mantap. ---- "Bagi duit, Bang." "Eh, duit buat apaan?" Satrio memekik. "Buat beli kacamata sama topi. Cepek aja, deh." "B...