Sniff ... sniff ....
Netra menutupi hidungnya ketika menangkap bau yang menyengat. Netra memperhatikan dengan seksama tembok yang mengapit gang sempit ini. Setelah turun dari boncengan Aldi, ketua OSIS itu langsung menuntun Netra untuk melewati gang sempit di dekat counter handphone. Awalnya Netra sempat curiga dan ragu untuk melewati gang ini. Jalan sempit ini terlihat kumuh. Benar saja, kecurigaannya terbukti. Beberapa langkah memasuki gang ini, Netra disambut oleh bau pesing. Tembok-tembok di sisi kanan dan kiri juga penuh dengan coretan kata-kata tidak jelas dan umpatan kasar.
Motor besar Aldi diparkirkan di sebuah masjid. Netra sempat tidak menyetujui. Dia takut bakal ada maling. Bukan motor Aldi yang Netra khawatirkan melainkan helm Netra. Helmnya itu baru saja dia beli dari hasil menabung, harganya pun lumayan mahal. Tapi Aldi memberi penjelasan pada Netra bahwa masjid itu aman. Dan juga, mereka tidak mungkin membawa motor ke tempat tujuan karena gangnya tidak muat untuk lewat motor.
Selama perjalanan dari sekolah menuju masjid ini keduanya hanya berdiam diri di atas motor. Tidak ada dari mereka yang berinisiatif untuk memulai membuka suara. Percakapan yang terjadi di antara mereka hanyalah saat Netra baru menaiki motor gede punya Aldi. Saat berada di boncengan Aldi, Netra bertingkah seperti gadis suci yang tidak boleh disentuh siapa pun. Tidak salah sih, Netra memang masih suci kok. Netra menaruh tas ranselnya ke depan sebagai pembatas antara dirinya dan Aldi. Padahal Aldi sudah menaruh tas ranselnya di belakang punggungnya. Bisa dibayangkan bagaimana bentuk mereka. Badan Aldi sudah cukup besar ditambah tas ransel di punggungnya lalu tas Netra dan di ujung jok motor ada badan Netra. Penuh sudah.
Aldi mendengus ketika melihat tingkah Netra. Gadis itu semakin aneh saja ketika berpegangan pada belakang motornya.
"Net, pegang tas gue aja. Tangan lo pegang situ, gue nggak nyaman lihatnya."
"Nggak mau. Pegang ini aja udah aman," debat Netra.
"Tapi takutnya nanti lo bisa jatuh ke belakang kalau gue rem mendadak."
"Nggak. Udah jalan aja."
Karena sebal dengan sifat keras kepala dari Netra, Aldi sengaja mengegas motornya lalu mengerem. Tubuh Netra jadi tidak seimbang, pegangan tangannya di belakang motor Aldi tidak bisa menjaga kestabilan tubuhnya. Sehingga dengan refleks dia meraih tas ransel Aldi dan menggenggamnya erat-erat.
Setelah tubuhnya stabil, tanpa sadar dia memukul punggung Aldi dengan keras. "Hati-hati kalau bawa motor, lo bawa anak perawan di belakang lo ini. Gue masih pengin nikah dulu lalu kawin kemudian."
Detik berikutnya dia menyesali apa yang dia lakukan dan katakan. Tangan dan mulut kurang ajarnya memang harus disekolahkan supaya lebih terdidik. Siapa yang menyuruhmu memukul-mukul punggung Aldi? Siapa juga yang menyuruh mulutnya mengucapkan nikah dan kawin pada Aldi. Sok kenal sekali kalian. Kayak kalian sepasang teman dekat aja.
"Tuh kan, makanya kalau gue suruh itu lakuin aja, nggak usah didebat terus. Bukannya apa-apa, gue cuma takut lo jatuh ke belakang. Pegangan tas gue aja apa susahnya sih," ujar Aldi di balik helm.
Netra menjawab dengan menutup kaca helmnya dengan keras.
Setelahnya tidak ada percakapan lagi di antara mereka.
Kembali ke gang sempit nan pesing ini. Netra berjalan pelan-pelan sambil terus bertanya dalam hati kapan perjalanan mereka akan berakhir. Langkah kaki Aldi masih terus berjalan ke depan. Gang kecil ini terasa begitu panjang dan tidak berujung bagi Netra. Semakin dalam netra masuk ke jalan sempit itu, bau pesing itu semakin menyengat. Netra mengumpat. Tipe orang macam apa sih yang sering kencing sembarangan di sini. Memangnya mereka tidak punya toilet di rumahnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Netra
Teen Fiction"Denger kata-kata gue ini ya, sebagai temen, demi meredam kegilaan kalian, gue janji gue bakal cari kelemahan Aldi!" ucap Netra mantap. ---- "Bagi duit, Bang." "Eh, duit buat apaan?" Satrio memekik. "Buat beli kacamata sama topi. Cepek aja, deh." "B...