Setelah menekan 12 digit angka serta tombol hijau pada layar ponselnya, Gita segera menenpelkan layar ponsel itu pada telinganya.
Beberapa saat ia mengetukkan telunjuk pada meja karena teleponnya tak juga diangkat.
"Kok nggak ngomong?" Bisik Farrel.
"Belum diangkat, nih. Udah telepon ketiga padahal "
...
"Masih belum, Ta?" Gita menggeleng. "Ya udah nanti lagi di tele—"
"Eeeh, shuut, udah ke sambung."
.
"Halo?"
"Halo?"
Gita menatap layar ponselnya dengan dahi berkerut. "Ini gue telepon udah kesambung kenapa nggak ada suara sama sekali, ya?"
"Misi, ini bener nomornya Bu Lilik, bukan?"
Tidak ada balasan.
"Bu Lilik yang punya kos di jalan Bangka. Bener?" Gita kembali bertanya.
Karena tetap tak mendapat jawaban, maka Gita membuat opini bahwa dia salah sambung. "Sori, salah sambung ya? Oke—"
"Bener."
"Ha? Bener apanya? Bener nomer Bu Lilik? Alhamdulillah... gimana? Masih ada kamar kosong, nggak?"
Tapi Gita agak sedikit bingung lantaran suara yang keluar pada speaker ponselnya ini jelas suara seorang lelaki seusianya.
"Loh, halo? Kok nggak ada lagi suaranya?"
"Sisa 1 kamar."
"O—oke, gue mau nempatin. Hari kamis gue kesana. Bisa send via SMS nggak, alamat lengkapnya?"
Setelah telepon mati, satu SMS dari nomor barusan masuk.
Ibu Kos Baru: Jl.Bangka 3 GG 81
"Ha? Gang 81? Seriusan nih? Setau gue cuma sampe gang 28, deh."
Ibu Kos Baru: *18
Gita: Oke sip, makasih
[14.08.17]
*NB: Gita pake 'gue' pas telepon karena suara lawan bicara dia masih kayak seumuran gitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekali Lagi [COMPLETE]
Historia CortaGita memang terlahir dengan tingkat kepekaan yang kurang. Kepekaan disini, merujuk pada, kode-kode. Bukan. Bukan kode seperti sandi rumput. Tapi kode hati, aduh. Gita selalu menganggap kode-kode itu hanya sebagai bercandaan, kepura-puraan, dan... g...