Suasana tuang tamu Faisal sedari tadi hening. Tangan Gita mencubit paha Farrel saking salah tingkahnya melihat Faisal, alias, mantannya.
"Apa kabar lo?" Tanya Faisal.
"Gue baik. Gita baik."
Padahal, niat Faisal adalah bertanya pada Gita, bukan Farrel. Walaupun dua orang itu sahabatnya semasa SMP.
"Gue tanya Gita, bukan elo."
"Terus gue nggak boleh jawab? Orang Gitanya juga oke-oke aja."
"Ck. Terserah."
Aduh, mampus, mereka berdua nggak pernah akur kalau ada gue. Kenapa pula ini kosan punya Ibunya Faisal.
"Sal, kamarnya dimana ya?" Biar gue nggak lama-lama di antara lo berdua nih, sumpek.
"Gue anter." Faisal hendak mengangkat dua tas koper milik Gita, namun Farrel menepuk tangan Faisal keras.
"Gue aja!"
"Ngapain lo yang sewot, anjeng."
Gita menepuk dahinya frustrasi. "Lo berdua akur kek, udah tiga tahun nggak ketemu kudunya maaf-maafan."
"Bodo, Ta. Songong sih itu orang." Farrel menuding tepat di depan wajah Faisal. Cowok itu terlihat sangat kesal.
"Udah, Rel, mending bawain tas gue."
"Gue yang bawa." Faisal merebut kembali tas Gita.
"Serah lo berdua deh ya, semerdeka kalian. Pusing akutu."
"Mau Paramex?"
Deg.
Gita merasa ada rasa-rasa baper saat mendengar nada khawatir Faisal, apalagi dengan tangan cowok itu yang tiba-tiba merangkul bahunya.
Gue udah lama nggak dipegang Faisal, anjir.
"ENGGA! GUE GABISA NELEN OBAT. LO LUPA APA?"
"Sans."
.
.
.Mampuslah diriku.
[22.08.17]
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekali Lagi [COMPLETE]
Historia CortaGita memang terlahir dengan tingkat kepekaan yang kurang. Kepekaan disini, merujuk pada, kode-kode. Bukan. Bukan kode seperti sandi rumput. Tapi kode hati, aduh. Gita selalu menganggap kode-kode itu hanya sebagai bercandaan, kepura-puraan, dan... g...