Tiga tahun kemudian...“Nggak... Nggak... Nggak... Apa yang om lakukan?!”
Caca melangkah cepat dan setengah berlari ke arah ruang rawat Aga. Ia baru saja tiba dilorong ketika melihat tim dokter membawa dipan Aga pergi. Ia berusaha mengejar Aga. Namun Om Adam sudah lebih dulu menahan kedua lengannya. Menghentikan langkahnya. Mata gadis itu membelalak lebar menatap Om Adam dengan penuh emosi.
“Apa yang om lakukan?! Aga akan dibawa ke mana?!” teriaknya.
“Nggak ada harapan bagi Aga di—“
“Apa maksud Om?! Aga baik-baik aja. Dia nggak kenapa-napa. Jantungnya masih berdetak!”
“Aga udah mati, Caca!”
Caca tersentak.
Laki-laki itu mengguncang lengan Caca di depannya. Hatinya juga sama terpukulnya saat ini. Jauh lebih terpukul karena Aga adalah putranya. Anak itu adalah darah dagingnya. Bagian hidupnya. Tidak ada yang membuatnya lebih terpukul dari kehilangan anaknya sendiri.
“Jantungnya memang masih berdetak, tapi otaknya udah mati! Saat seluruh peralatan medis itu dicabut dari tubuhnya, dia juga akan mati!”
“Om!”
“Ini sudah hampir tiga tahun dan rumah sakit ini nggak bisa menyembuhkannya. Mereka tidak punya harapan untuk Aga selain menyarankan Om mencabut semua selang- selang ditubuh Aga dan mengikhlaskan kepergiannya!”
Airmata Caca tumpah. Ia ingin berteriak pada Om Adam, tapi tidak bisa. Matanya berkabut dan terasa perih.
“Om akan membawanya pergi ke rumah sakit yang lebih baik di luar sana. Tante Laras sudah menunggu. Setidaknya Aga masih punya peluang hidup di sana. Ini demi kebaikan Aga. Om juga tidak ingin kehilangan Aga sama seperti kamu. Om tidak bisa membiarkan Aga mati di sini.”
“Tapi, Om ...”
“Om harap kamu bisa mengerti. Ini berat untuk kamu tapi bersabarlah. Fokus saja dengan kuliahmu di sini dan ... lupain Aga.”
Caca menelan ludah dengan susah payah sementara kabut mulai menyeruak mengaburkan pandangannya. Ia tidak mengatakan apapun.
Aga pergi.
Om Adam membawanya pergi.
Di sisi lain, tanpa disadari, ada seseorang yang terus mengamati apa yang terjadi di rumah sakit itu. Mengawasi Caca dari jauh. Dan begitu dilihatnya gadis itu terpuruk barulah ia memutuskan untuk menghampiri gadis itu.
“Ca...,” panggilnya.
Hatinya terluka, bahkan hanya dengan menyebut satu kata itu. Dan lebih terluka, ketika kebahagiaan yang diimpikannya justru menangis dihadapannya. Ya, kebahagiannya. Gadis dihadapannya sekarang,.... ia mencintainya. Dimas mencintainya.
Tolong... jangan menangis untuk orang lain di hadapannya. Jangan menderita untuk orang lain di hadapannya. Jangan terluka karena mencintai orang lain di hadapannya. Karena itu juga akan sangat melukai hatinya, bahkan ketika dirinya tidak diberikan kesempatan untuk terluka.
Caca mengangkat wajah. Matanya sembab dan basah oleh airmata ketika melihat Dimas berdiri di hadapannya.
“Dim ....”
“Jangan nangis gitu, Ca. Aga nggak mati. Dia cuman dipindahkan.”
Melihat Caca dalam keadaan terisak seperti ini, benar-benar menyakiti hati Dimas. Benar-benar membuat jantungnya terasa dipukul keras. Seandainya dirinyalah yang dibutuhkan gadis ini. Tapi kenyataannya tidak. Dia... bukan orang yang dibutuhkan oleh Caca.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA (TAMAT)
Teen Fiction"Semua keinginan gue, gak pernah jadi kenyataan. Itu cara kehidupan menghukum gue." *** Aga, atau lebih lengkapnya Airlangga Putra Senja. Pangeran bermata kelabu paling sempurna abad ini dengan tatapan menghangatkan namun sorot mata yang terlihat b...