#2: Jerit Kesakitan yang Meruntuhkan Keberanian

47.1K 2.8K 93
                                    

Keberanian itu ibarat laut. Mudah sekali pasang-surut. Itulah yang dirasakan Azel saat ingin memberitahu kehamilan kepada orangtuanya.

Azel ingat waktu itu. Dari sekolah ia sudah bertekad akan memberitahu mamanya. Tapi, sesampainya di rumah, saat melihat mamanya, lidahnya mendadak kelu. Seolah-olah ada sihir yang menggunakan mantra ikat-lidah-sempurna kepadanya.

Di waktu lain lagi, waktu itu malam hari di meja makan. Kebetulan keluarga sedang kumpul. Ada Papa, Mama, dirinya, dan adik laki-lakinya bernama Kafka. Tumben sekali keluarganya kumpul lengkap seperti ini.

Azel bertekad, selesai makan dirinya akan mengajak keluarganya bicara. Tapi, saat piring-piring itu berpindah ke bak pencuci piring di dapur, Azel belum juga bersuara.

Ketika Azel menemukan saat yang pas, ponsel Papa tiba-tiba berbunyi. Membuat kata-kata, yang sudah berada di ujung lidah kembali tertahan. Papa berlalu dari ruang keluarga, masuk ke ruang kerjanya. Mama mengikuti dari belakang. Kini, tinggal dirinya dan Kafka, menonton tv.

"Lo kenapa?" tanya Kafka kepada Azel setelah berhenti mengganti saluran tv.

"Apa?"

"Dari tadi gue liat lo ngehela napas mulu. Berat lagi. Kayak lagi mikirin sesuatu gitu."

Azel menyelipkan rambut ikalnya di telinga. Lalu membolak-balik majalah yang ia temukan di bawah meja.

"Perasaan lo aja kali!" elak Azel lalu pura-pura membaca.

Kafka memperbaiki posisi duduknya. Kini berhadapan dengan Azel. Alisnya terangkat menatap kakak perempuannya itu.

"Sejak kapan lo suka baca majalah otomotif?" Pertanyaan itu telak menohok Azel. Azel melihat cover majalah, ternyata benar, ini majalah otomotif. "Ngaku aja lo sekarang!"

"Apaan sih, lo?" Azel melemparkan majalah di tangannya ke  arah Kafka--yang berhasil dielaki Kafka. Lalu buru-buru berdiri. "Males gue berduaan sama lo." Azel memutari kursi malas lalu berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.

Kafka memerhatikan Azel. Ia tahu ada yang berbeda dengan kakak perempuannya akhir-akhir ini. Azel jadi pendiam dan suka mengurung diri di kamar. Belum lagi Azel sering izin tidak masuk karena sakit. Azel sering pusing dan mual. Nafsu makannya pun menurun. Banyak perubahan yang terjadi pada Azel. Oh iya satu lagi, Kafka tidak pernah lagi melihat pacar Azel datang ke rumah.

Apa mereka putus? Sepertinya begitu,  pikir Kafka.

Sebenarnya Kafka senang kalau Azel benar-benar putus dengan Falih. Menurutnya Falih bukan cowok yang baik. Di sekolah Falih terkenal sebagai cowok yang suka berbuat masalah. Hanya karena orangtuanya kaya raya, Falih seakan bisa melakukan hal semaunya. Tapi, Kafka tidak bisa berbuat apa-apa  saat Azel memutuskan berpacaran dengan Falih. Kafka tidak bisa mengatakan ketidaksukaannya. Statusnya sebagai adik tiri, membuat hubungannya dengan Azel tidak terlalu dekat.

Kafka mengembuskan napas. Lalu kembali mematikan tv. Tidak ada acara yang menarik. Lebih baik ia masuk kamar dan main gitar saja.

Saat menuju kamarnya, Kafka melewati kamar Azel. Kafka mendengar suara tangisan dari dalam kamar Azel. Sepertinya kakak perempuannya itu menangis. Tangan Kafka sudah terangkat ingin mengetuk pintu, tapi terhenti. Azel pasti marah kalau dirinya ikut campur seperti ini.

Akhirnya Kafka meninggalkan pintu kamar Azel dan masuk ke dalam kamarnya sendiri.

"Putus cinta sering kali membuat seseorang menjadi orang paling menderita di dunia," bisik Kafka sebelum memetik senar gitarnya.

***

Azel melihat rumah itu dari dalam mobilnya. Rumah kecil bercat putih kusam. Pagar besinya terlihat tua dan berkarat. Di tembok pagar, tertulis angka 24 dari cat merah yang sudah memudar. Pohon-pohon palem tumbuh di halaman rumah. Memberi kesan asri, sekaligus sepi. Dari tepi jalan kecil dan lengang, Azel sama sekali tidak melihat aktivitas apa pun di dalam rumah.

Shotgun WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang