Sejak berbaring dua jam lalu, abytra sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Pikirannya terasa penuh, hatinya gelisah. Sudah sering ia berganti posisi yang nyaman hanya agar bisa terlelap, nyatanya ia tidak juga tenggelam dalam dunia mimpi.
Abytra mendesah. Ia meraba meja nakas, menarik laci dan mencari-cari gawai miliknya. Saat benda mungil itu berhasil ia dapatkan, ia melihat jam di layar ponsel. Sudah subuh ternyata. Sepertinya ia tidak akan bisa tertidur lagi.
Lalu, suara Azel kembali mengisi pendengarannya. Terngiang-ngiang, seperti kaset rusak yang diputar berulang-ulang. Nada sedih, mata berkaca-kaca, dan bibir bergetar Azel tidak bisa Abytra lupakan.
Sekali lagi Abytra berganti posisi. Kini ia miring ke kanan, satu tangannya terlipat dan diletakkan di bawah kepala. Di hadapannya Azel tertidur. Abytra memperhatikan gadis itu. Beberapa helai rambut keluar dari ikatannya dan menempel di pipi. Bibir Azel sedikit terbuka, napasnya terdengar teratur. Tangannya memegang perut, seakan menjaga bayi di kandungannya untuk tetap aman.
Abytra tidak tahu mengapa ia melakukan itu, tapi ia tidak mencegah saat tangannya mulai terulur dan menyingkirkan helai-helai rambut yang menutupi pipi Azel. Pipi itu terasa lembut, juga dingin. Lalu, jemari Abytra bergerak perlahan, menelusuri tulang pipi Azel, hingga berakhir di bibir gadis itu. Kulit Abytra bisa merasakan tarikan dan hembusan napas Azel. Terasa hangat.
Tiba-tiba satu gagasan mencuat di benak Abytra, membuat perasaannya makin gelisah. Ia jadi bertanya-tanya, apakah menyakiti Azel adalah cara yang benar untuk membalas dendamnya kepada Thomas?
***
Azel tetap memejamkan mata dan mati-matian bernapas dengan cara normal. Meski jari Abytra yang berhenti di bibirnya membuat jantungnya berdetak cepat. Tapi, ia tidak boleh membuka mata sekarang. Ia harus pura-pura tidur. Kalau ia bangun, pasti Abytra akan terkejut, dan mereka akan mengalami momen yang canggung.
Apa yang Abytra lakukan? bisik Azel, masih memejamkan mata dan menarik napas secara teratur.
Untunglah Abytra segera menarik jemarinya. Setelah beberapa waktu kemudian, Azel berusaha mengintip dengan sebelah mata. Ia melihat pria itu menatap ke atas. Keningnya berkerut. Seperti sedang berpikir keras. Lalu, Azel kembali merapatkan matanya saat Abytra mengembuskan napas gusar.
Gelembung rasa penasaran semakin membengkak di hati Azel. Ia jadi bertanya-tanya, apa yang saat ini ada dalam pikiran pria di sampingnya itu.
***
"Dari mana kamu tahu?!""Aku nggak sengaja dengar pembicaraan kamu di telepon."
Abytra tersentak dari lamunan saat seseorang menyentuh pipinya. Abytra menoleh dan mendapati sepasang mata yang menatapnya cemas. Mata milik Maura.
"Ada apa?" tanya Maura khawatir. "Dari tadi aku perhatikan kamu sering melamun. Ada masalah?"
Abytra tidak langsung menjawab. Saat ini hatinya sedang bergumul. Haruskan ia memberitahu Maura tentang pembicaraannya dengan Azel dini hari tadi? Atau ia pendam saja dan mencoba melupakannya?
Abytra tersenyum tipis lalu meraih tangan Maura yang menyentuh pipinya. Kemudian menurunkan tangan itu dan menggenggamnya. "Bukan apa-apa," jawabnya.
Mata Maura menyipit. Mencoba mencari kebenaran.
"Sungguh. Aku tidak apa-apa," tambah Abytra lagi, kali ini berharap hal itu dapat meyakinkan Maura.
Maura menarik napas, lalu mengangguk. Memilih untuk tidak bertanya lagi.
"Bagaimana urusan kerjasamanya?" tanya Abytra.
Ya, orang kepercayaan Abytra yang mengurus kerjasama dengan perusahaan Thomas adalah Maura. Maura tidak sendirian, ada timnya. Tapi, wanita itu adalah leader-nya.
"Sampai saat ini masih oke. Seperti rencana. Kali ini kita buat semuanya menguntungkan bagi pihak mereka. Setelah mereka larut dan lengah karena puas dengan keuntungan yang mereka peroleh, baru kita bertindak dan mengambil alih semuanya."
Abytra mengangguk. "Oke. Kita buat Thomas berada di atas angin sebelum menjatuhkannya ke lubang paling terdalam sampai pria itu tidak bisa bangkit lagi."
"Lalu bagaimana dengan gadis kecil itu?"
Abytra menatap Maura, tidak menyangka Maura akan mengubah topik pembicaraan ke arah sana. Padahal tadi ia sengaja mengalihkan pikirannya dari segala hal yang berkaitan dengan Azel. Setelah Maura menyinggungnya lagi, Abytra kembali tengiang-ngiang kata-kata yang diucapkan Azel padanya.
"Kalo kamu memang mau bertemu dengan kekasihmu, lakukan aja. Aku nggak apa-apa. Aku tau, pernikahan ini tidak pernah didasarkan oleh cinta. Dan aku nggak akan menghentikanmu kalo kamu ingin bersama wanita lain yang kamu cintai."
Abytra menelan ludah. Terasa pahit. Gengaman tangan Maura yang mengerat membuatnya menoleh.
"Apa yang akan kamu lakukan?"
Abytra tidak bisa menjawab. Sebab ia sendiri pun mulai ragu. Haruskah ia melibatkan Azel untuk membalaskan dendamnya ini? Apakah gadis yang tidak tahu apa-apa itu pantas untuk dilukai?
"Dia tidak salah apa pun kepadamu. Tidak seharusnya kau melakukan ini. Kau adalah orang paling jahat kalau sampai menyakiti Azel," bisik sebuah suara di kepala Abytra.
Namun, ada suara lain juga di kepala Abytra. Suara yang membenarkan tindakannya.
"Dia itu anak kesayangan Thomas. Selama ini dia hidup bahagia. Sementara kau menderita. Jadi, memang sudah seharusnyaa kau merebut kebahagiaanya dan memberikan penderitaan. Thomas akan makin hancur kalau melihat putri kesayangannya hancur."
Kepala Abytra terasa penuh dan pusing oleh suara-suara itu. Ingin rasanya ia memukul kepalanya agar suara-suara itu berhenti menganggu pikirannya.
"Aby."
Panggilan Maura membuat Abyta membuka matanya. Ternyata tadi Abytra memejamkan mata.
"Kamu yakin baik-baik saja?"
Abytra menarik sudut bibirnya, berusaha tersenyum dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Shotgun Wedding
RomanceUPDATE TIAP HARI!!! High Rank #28 (31/03/2018) "Aku ingin membencimu. Tapi, yang terjadi, aku malah semakin jauh jatuh cinta kepadamu." Hanya demi kenikmatan sesaat, Azel kehilangan masa remajanya dan mengorbankan masa depannya. Sekarang Azel harus...