#4: Pria Asing yang Menjadi Calon Suami

39K 2.4K 61
                                    

Menikah.

Azel memejamkan mata. Membayangkan kata itu saja terasa sulit baginya. Apalagi harus menjalaninya.

Umurnya baru 17 tahun. Masih remaja. Seharusnya ia bersenang-senang menikmati masa mudanya. Tapi sekarang ia dihadapkan dengan pernikahan. Itu karena kehamilan ini.

Azel mengusap perutnya. Belum membuncit memang. Tapi, Azel tidak dapat membohongi diri bahwa ada yang mulai tumbuh dan hidup di sana.

Seminggu sudah sejak Papa dan Mama tahu Azel hamil. Papa murka, tentu saja. Perusahaan sedang terlilit masalah, dan sekarang Azel malah memperburuknya. Malam itu kedua orangtua Azel bertengkar hebat--tentu saja itu bukan pertengkaran pertama. Tapi, Azel yang mendengar pertengkaran itu, dan tahu itu karena dirinya, membuatnya menangis tanpa suara di dalam kamar semalaman.

Azel masih ingat kata-kata yang diucapkan Papa padanya malam itu. Anak tidak tahu diuntung. Anak tidak punya otak. Anak gagal. Banyak sumpah serapah yang Papa lampiaskan padanya--juga Mama. Azel tidak bisa membalas makian Papa karena ia tahu apa yang Papa katakan itu benar. Dirinya memang gagal.

Seandainya malam itu aku tidak percaya pada kata-kata Falih. Seandainya aku tidak hamil. Seandainya ....

Banyak kata-kata 'seandainya' yang memenuhi pikiran Azel. Tapi, semua tidak membantu keadaan menjadi lebih baik sama sekali. Semuanya sudah terjadi. Pengandaian itu hanya menambah rasa sesalnya.

Hari-hari setelah aibnya terbongkar, seperti neraka bagi Azel. Ia tidak diizinkan sekolah. Tidak diizinkan kemana-mana. Bahkan keluar kamar pun tidak diperbolehkan. Makanan selalu di antar pada jam makan. Azel persis menjadi tawanan. Dan menjadi tawanan di rumah sendiri adalah hal yang paling buruk.

Papa akan carikan laki-laki yang mau menikahimu. Orang lain tidak boleh ada yang tahu tentang kehamilan ini. Mau ditaruh dimana muka Papa ini nanti. Begitu yang diucapkan Papa dua hari yang lalu. Dan beberapa jam yang lalu Papa mengatakan sudah menemukan laki-laki itu.

Sebentar lagi, ia akan menikah. Dengan orang yang sama sekali tidak ia kenal. Ia akan menjadi istri dari orang asing.

Azel tidak pernah menyangka, bahwa satu kesalahan bisa menghukumnya dengan begitu banyak masalah.

Angin berhembus, memainkan rambut ikal sepunggung Azel. Gadis itu memegang pagar pembatas balkon. Besinya terasa dingin di kulit. Mata Azel menatap ke bawah.

Kalau aku terjun dari sini, apa yang akan terjadi? Apa aku akan mati? Bagaimana rasanya mati? Sakit? Atau sama sekali tidak merasa apa-apa?

Berbagai pertanyaan itu memberondongnya secara bersamaan. Azel semakin mempererat pegangannya. Merasakan dingin besi yang mengigit.

Lalu samar-samar Azel mendengar suara petikan gitar. Mengalun lembut. Menghanyutkan. Tak lama kemudian disusul nyanyian yang begitu Azel kenal.

So hear my voice remind you not to bleed
I'm here,

Saviour will be there
When you are feeling alone, oh
A saviour for all that you do
So you live freely without their harm

(Savior by Black Veil Brides)

Perlahan, mata Azel terasa panas dan pedih. Air mata mulai mengumpal di ujung mata, lalu pecah dan berguguran membasahi pipi. Lagu yang dinyanyikan Kafka itu menyentuhnya. Seakan Kafka sengaja menyanyikan lagu itu khusus untuk menghiburnya.

Bertahan. Itu yang Kafka minta lewat lagu yang Azel dengar. Apakah dirinya mampu bertahan? Apakah penyelamat itu benar-benar ada?

Shotgun WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang