Buk-buk-buk!
Tiga kali tinju menghantam tubuh Abytra. Pipi sekali dan perut dua kali. Rasanya luar biasa sakit. Abytra merunduk, terbatuk-batuk sambil memegang perutnya. Napasnya ikut tersengal-sengal. Namun Abytra sadar ini semua belum setimpal dengan apa yang sudah ia lakukan kepada Azel.
Di sisi lain, Kafka juga tersengal. Napasnya memburu, karena emosi yang membludak. Dari tadi ia mati-matian menekan kemarahannya. Setelah Azel ditangani oleh dokter, cowok itu membawa Abytra ke tempat sepi dan menghajarnya.
"Hanya segini?" tanya Abytra dengan bibir meringis. Sudut bibirnya yang pecah mulai membengkak.
"Berengsek!" Pertanyaan itu ternyata memancing kemarahan Kafka lagi. Padahal tangan cowok itu sudah sakit karena meninju Abytra bertubi-tubi. Tapi, ia tidak peduli dengan rasa sakit itu. Sesuai janjinya, dia akan menghabisi pria itu karena menyakiti Azel.
Buk-buk-buk!
Kali ini Kafka tidak hanya lagi meninju, tapi juga menyikut, menendang, dan melakukan apa saja asal dapat menyakiti Abytra. Agar pria itu tahu bahwa ancamannya bukan isapan jempol belaka. Ia benar-benar serius untuk menghabisi pria itu.
Satu tendangan pada dada Abytra berhasil membuat pria itu terjengkang ke belakang. Punggungnya keras membentur lantai yang kasar. Tulang-tulangnya ngilu. Abytra merasa tubuhnya baru saja ditabrak bus.
Kafka jongkok di dekat Abytra. Lututnya menekan dada pria itu. Abytra mengerang. Tulang rusuknya serasa patah dan jantungnya seperti ingin meledak. Abytra kesulitan untuk bernapas.
"Sakiiit!" rintihnya. Tapi itu justru membuat Kafka semakin menekan lutut ke dada Abytra.
"Dia nggak salah apa-apa. Tapi lo nyakitin dia!"
Ternyata saking marahnya, Kafka tidak bisa menahan air matanya. Cowok itu menangis. Air matanya jatuh dan menetes tepat di sudut mata Abytra, dan menetes ke pipi.
"Lo nggak tahu kan kalo selama lo pergi dia nungguin lo? Dia khawatirin lo?"
Abytra tidak bisa menjawab. Dadanya terlampau sakit. Satu-satunya yang bisa ia lakukan saat ini hanya berusaha sekuat mungkin meraup oksigen sebanyak mungkin agar paru-parunya tidak kering dan menyusut.
"Tapi apa yang lo lakuin ke dia? Lo nyakitin dia! Apa lo manusia yang nggak punya hati, ha?"
Satu tinju melayang ke pipi Abytra. Tidak kuat. Karena tenaga Kafka pun sudah ikut terkuras.
"Jawab gue bajingan!" sentak Kafka. "Apa lidah lo nggak bisa berfungsi lagi, ha?"
"Da ... da ... sa ... ya ... sa ... kit!" rintih Abytra.
"Apa lo bilang? Ngomong yang jelas!"
"Sa ...kit!"
"Sakit?"
Abytra mengangguk.
"Aaaarrrggghhh ....!"
Ternyata Kafka malah menekan lututnya. Kini tidak hanya satu. Tapi dua lututnya. Abytra mengerang. Ia sudah tidak tahan. Dadanya sakit luar biasa. Kepalanya serasa mau pecah. Ia kesulitan untuk bernapas. Pandangannya pun mulai mengabur dan menjadi gelap.
Akhirnya Kafka berdiri melihat Abytra yang sudah tidak berdaya. Kafka merasa kasihan melihat sosok yang tidak berbentuk itu lagi. Wajahnya penuh lebam dan luka. Bajunya kotor. Tapi, Abytra pantas menerima itu semua karena ia sudah menyakiti Azel.
"Lo jangan mati dulu. Karena urusan kita belum selesai."
Abytra tidak menjawab. Ia sudah tidak punya tenaga lagi untuk bersuara. Rasa sakit mengambil alih seluruh perhatiannya.
"Lo tunggu di sini sebentar. Gue akan panggil perawat."
Kafka lalu mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. Lalu pergi meninggalkan Abytra.
Sementara Abytra tidak sadar apa yang terjadi di sekitarnya lagi. Pria itu hanya berusaha bernapas dengan sisa tenaganya. Saat itulah Abytra melihat wajah ibu dan ayahnya. Kedua orang tuanya menatap kepadanya dan tersenyum. Senyum sedih dan kecewa yang membuat perasaan Abytra hancur.
Ternyata menyakiti Azel adalah cara yang salah. Karena apa yang ia lakukan itu malah menjadi bumerang. Pada akhirnya rasa sakit itu kembali ke dirinya sendiri. Menghancurkannya.
Pandangan Abytra gelap sempurna. Pria itu jatuh pingsan. Tapi sebelum pingsan, ia sempat mengucapkan sepatah kata dengan lirih. Kata yang mati-matian ia ucapkan dengan seluruh tenaga yang tersisa. Satu kata yang berharap dapat menghentikan rasa hancur di hatinya.
Kata itu adalah maaf.
Sayangnya kata maaf itu tidak di dengar oleh siapa pun, baik Kafka maupun Hazel.
Kata maaf itu pada akhirnya menjadi kata maaf yang tersia-siakan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Shotgun Wedding
RomanceUPDATE TIAP HARI!!! High Rank #28 (31/03/2018) "Aku ingin membencimu. Tapi, yang terjadi, aku malah semakin jauh jatuh cinta kepadamu." Hanya demi kenikmatan sesaat, Azel kehilangan masa remajanya dan mengorbankan masa depannya. Sekarang Azel harus...