#41: Ingin Berhenti (Part 1)

18.4K 1.3K 95
                                    

Pertama kali yang dirasakan Azel ketika terbangun adalah lengan kokoh yang memeluk tubuhnya. Sudut bibir gadis itu tertarik ke atas, lalu ia membenamkan wajahnya pada sebidang dada lebar milik Abytra. Aroma tubuh pria itu memenuhi penciuman Azel. Aroma musk--parfum yang biasa Abytra pakai--bercampur keringat. Aroma khas pria itu. Aroma yang terasa menyenangkan bagi Azel.

Lalu ia merasakan lengan kokoh itu mengeratkan pelukannya. Deru napas Abytra menerpa puncak kepala Azel. Terasa geli. Tapi Azel menyukainya.

"Kau sudah bangun?" bisik Abytra dengan suara serak. Pria itu berbicara terlalu dekat dengan telinga Azel, deru napasnya membuat Azel sedikit merinding.

Azel tidak menjawab. Gadis itu malah menempelkan tangannya di dada Abytra dan mengusapnya lembut. Dada itu ... tempat yang terasa begitu nyaman baginya.

"Apa aku berat?" Akhirnya Azel bersuara juga.

Abytra terkekeh. Tawa yang terdengar begitu berbeda bagi Azel. Tawa yang terasa tulus. Dan bertambah satu hal lagi yang Azel sukai dari pria itu.

"Kenapa kau berpikir begitu?"

"Dari semalam kita tidur dalam posisi seperti ini. Lenganmu pasti kesemutan."

Memang sejak semalam Azel tidur dalam dekapan Abytra. Kepala gadis itu berada di atas lengan Abytra.

Abytra menggeleng. "Sama sekali tidak."

"Sungguh?"

"Ya!"

Azel tersenyum. Sudah lama ia tidak merasakan perasaan seperti ini. Perasaan nyaman karena memiliki seseorang tempat bersandar. Perasaan bahagia karena dimanja.

"Bisakah kita tetap seperti ini satu jam lagi?"

Sekali lagi Abytra tertawa. Entah kenapa pagi ini semuanya terlihat indah. Bahkan pertanyaan-pertanyaan Azel terasa menyenangkan di telinganya, membuat hatinya berbunga.

"Baiklah, kalau kau maunya begitu."

Azel membenamkan wajahnya ke dada Abytra. Menghidu aroma tubuh pria itu. Sementara Abytra mengetatkan pelukannya dan mencium puncak kepala Azel.

Mereka tidak pernah menyangka, ciuman semalam membuat mereka jadi dekat dan seintim ini. Seolah sekat yang selama ini memisahkan mereka, lenyap begitu saja, tanpa sisa.

***

"Astaga, Aby! Itu wajah kenapa?" tanya Maura dengan ekpresi terkejut. Sudah dua hari Abytra tidak ada kabar. Eh sekali ketemu wajah pria itu penuh memar.

Maura mendekat, menyentuh sudut bibir dan pipi Abytra. Pria itu meraih tangan Maura, lalu mundur selangkah.

"Tidak apa-apa," jawab Abytra. Seolah bersikap biasa saja. Entah kenapa sejak hubungannya semakin jauh dengan Azel, Abytra merasa risih berdiri dalam jarak begitu dekat dengan Maura.

Maura menyipit. "Kau masih bilang ini tidak apa-apa?" Maura mulai gusar. Bagaimana tidak? Dua hari ia sama sekali tidak memdapat kabar dari pria itu. Teleponnya tidak diangkat. Pesan dan chat-nya tidak pernah dibalas. Lalu saat ketemu, Abytra malah babak belur. Dan paling menyebalkan dari ini semua adalah Abytra masih mengatakan bahwa itu bukan apa-apa.

"Wajahmu memar gini. Ada yang luka juga. Tapi, kau masih bilang tidak apa-apa? Apa kau tidak tahu kalau aku mengkhawatirkanmu, ha?" berang Maura. Entah mengapa akhir-akhir ini ia tidak mengerti lagi dengan Abytra. Mereka seperti dua orang asing yang baru bertemu. Sikap Abytra begitu asing bagi Maura.

"Maaf," bisik Abytra.

Maura memejamkan mata. Berusaha mengusir kesal di hatinya. Setelah amarahnya sedikir mereda, ia kembali bertanya, "Apa yang terjadi?"

"Bisa kita duduk dulu?" pinta Abytra.

Maura tersadar. Ternyata sejak tadi mereka berdiri di depan pintu. "Oke," jawab Maura. "Tapi setelah itu kau jangan berkelit lagi untuk tidak bercerita."

Kemudian Maura berjalan menuju ruang tengah. Abytra membuntuti. Keduanya lalu duduk di sofa berlengan. Maura memangku bantal, matanya tertuju kepada Abytra, meminta pria itu untuk mulai bercerita.

Abytra menghela napas. Ia tidak mungkin bisa menghindar.

"Kafka." Akhirnya Abytra cuma menyebut satu nama itu.

"Kafka?" Kening Maura mengernyit. Perasaan ia pernah mendengar nama itu. Tapi dimana?

"Anak Thomas. Adiknya Azel," terang Abytra.

"Tolong ceritakan dari awal. Aku sama sekali tidak mengerti."

Sekali lagi Abytra menghela napas.

"Ini semua ...," Abytra menunjuk wajahnya,"...karena dipukuli Kafka."

Mata Maura membulat. Ia membekap mulutnya dengan tangan. "Kenapa dia memukulmu?"

"Apa kau ingat kalau aku pernah bilang kalau Kafka memergoki kita di bioskop?"

Maura berpikir sejenak, lalu mengangguk. Sekarang ia ingat kapan mendengar nama Kafka, yaitu saat Abytra memberitahunya ini.

"Dia membenciku. Mungkin sangat membenciku."

"Karena itu dia memukulmu?"

Abytra mengangguk. "Aku tidak menyangka dia cukup lumayan juga."

"Lalu dia gimana?"

"Sama berantakannya denganku," bohong Abytra. Sengaja ia mengatakan itu. Sebab kalau ia mengatakan kalau Kafka baik-baik saja, Maura pasti curiga. Dan wanita itu akan mendesaknya untuk terus bercerita.

"Kau harus berhati-hati dengannya," pesan Maura, yang direspons Abytra dengan anggukan kepala. Syukurlah wanita itu mempercayai kebohongannya.

"Omong-omong aku punya kabar bagus," kata Maura dengan wajah cerah. "Ini mengenai rencana kita. Sepertinya kita tidak perlu menunggu selama sebulan untuk mengambil alih perusahaan Thomas."

Pembicaraan yang berubah secara tiba-tiba ini membuat tenggorokan Abytra tersekat. Seakan oksigen di sekitarnya lenyap begitu saja. Membuatnya merasa sesak.

"Ma-maksudmu?"

"Ya, kita tidak perlu menunggu sebulan. Tapi cuma dua minggu. Sebentar lagi perusahaan Thomas akan jadi milik kita. Dendammu akan terbalaskan."

Melihat respons Abytra tidak sesuai yang diharapkan Maura, membuat wanita itu mengernyit bingung. "Kau sama sekali tidak senang dengan kabar ini?"

Abytra menunduk, menghindari tatapan Maura yang seolah seperti laser yang memindai isi pikiran dan hatinya.

"Aby ...," tegur Maura.

Abytra menghela napas panjang. Lalu dengan suara berbisik ia bertanya, "Kalau kita berhenti saja, bagaimana?"

***

Halo semua. Aku kembali lagi. Hehehe ... senang akhirnya bisa up lagi. Padahal lagi super sibuk. (Sok sibuk banget)

Oh iya makasih buat yang udah mau gabung di grup WA yang rencananya akan aku buat. Tapi mohon maaf aku belum sempat buat grupnya. Terkendala sama nama.

Ada usul untuk nama grupnya nggak? Bener-bener bingung nih?
Penginnya sih grup itu untuk memundahkan aku berinteraksi dengan semua pembaca karya-karyaku.

Ya sudah sampai segini dulu, deh. Mau balik kerja lagi. Soalnya hari Kamis aku harus supervisi. Oh iya, yang mau gabung grup WA, boleh inbox nomor WA-nya ya. Nanti bakal direspons.

Sampai jumpa lagi!
Bubay.

Kamal Agusta

Shotgun WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang