#3: Mimpi Buruk, Kafka dan Aib yang Terbongkar

40.7K 2.5K 64
                                    

Hari ini Azel lagi-lagi tidak sekolah. Sejak pagi badannya oyong. Pandangannya berputar, seakan dirinya berada di round table. Apalagi semalaman ia tidak bisa tidur. Bayangan kejadian di tempat aborsi masih mengganggunya. Seakan kejadian itu melekat di pikirannya seperti lem setan.

Azel meringis saat perutnya terasa perih. Sejak semalam ia belum makan. Lapar, sebenarnya. Tapi, tidak berselera memakan apa pun. Aroma makanan itu mengusiknya. Membuat perutnya bergejolak. Sejak hamil penciumannya memang menjadi lebih sensitif. Azel jadi mudah mual.

Suara ketukan pintu membuat Azel mengerang. Padahal ketukan itu pelan, tapi di telinganya, seakan seperti godam yang memecahkan kepala. Azel menutup kepalanya dengan bantal. Berharap hal itu membantunya terhindar dari gangguan, tapi nyatanya tidak.

"Masuk!" perintah Azel akhirnya.

Handel pintu turun ke bawah, lalu pintu berayun terbuka. Di balik pintu Kafka berdiri sambil membawa nampan.

"Mama yang nyuruh," kata Kafka duluan sebelum ditanya.

"Jangan dibawa masuk!" sentak Azel tepat saat Kafka melangkah masuk. Azel sudah mengepit hidungnya dengan jari.

"Tapi, Mama ...."

"Lo pergi sana. Jangan ganggu gue!" usir Azel.

"Lo belum makan sejak kemarin."

"Apa urusan lo? Udah pergi sana!"

Kafka menarik napas panjang. Tapi cowok itu belum mau menyerah.

"Makanan ini gue tinggal. Terserah lo mau makan atau nggak."

"Jangan ditinggal! Lo ngerti nggak, sih?"

"Tapi lo belum makan."

Azel mengerang kesal. "Makan atau nggak itu bukan urusan lo. Sekarang, lo tutup pintu kamar gue dan pergi bawa makanan itu. Ngerti?"

Tidak ingin melihat Azel tambah marah, akhirnya Kafka mengalah. Azel memang seperti itu. Keras kepala. Kalau sudah bilang tidak, maka tidak bisa dibantah. Satu-satunya yang bisa menundukkan kekeraskepalaan Azel hanya Papa. Sayangnya, pagi-pagi sekali Papa sudah pergi. Akhir-akhir ini Papa selalu berangkat ke kantor pagi sekali. Sepertinya ada masalah di perusahaan.

"Malah bengong lagi. Keluar sana. Buruan!"

Kafka tersadar, lalu melangkah mundur. Tak lupa menutup pintu kamar Azel kembali.

Selepas kepergian Kafka, Azel memejamkan mata. Tangan kanannya terangkat dan diletakkan di dahi. Azel menahan rasa mual yang kembali menyerangnya.

***

Pulang sekolah Kafka tidak kemana-mana. Cowok itu langsung pulang ke rumah. Sejak tahu keluarga dalam masalah--yang ia yakin disebabkan oleh permasalahan di perusahaan orangtuanya--Kafka jarang mampir kemana-mana. Bahkan sekadar hangout dengan teman-temannya.

Selain itu, Kafka juga mengkhawatirkan Azel. Meski sikap Azel selalu tidak baik padanya, Kafka tidak bisa tidak peduli dengan kondisi Azel saat ini. Azel semakin terlihat tidak sehat. Tubuhnya mengurus--ya walau sebenarnya Azel itu tidak gemuk juga. Intinya, Azel sedang bermasalah.

"Sorry gue nggak bisa ikut," tolak Kafka, ketika Bintang, teman sebangkunya ngajak nge-band.

"Tanpa lo, formasi kita timpang, Ka. Ayolah ...," bujuk Bintang. "Lagipula udah lama kita nggak nge-band," lanjutnya kemudian.

Kafka memanggul ranselnya dan menjawab, "Gue beneran nggak bisa, man. Nyokap udah nyuruh gue balik."

"Yaelah. Anak mami, lho."

Shotgun WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang