#36: Konfrontasi (part 2)

12.6K 968 32
                                    

"Satu bulan."

Abytra mengangkat wajah, menatap Maura dengan kening mengernyit. Saat itu mereka berada di meja makan, sedang sarapan.

"Satu bulan," ulang Maura sekali lagi. Wanita itu tetap fokus pada salad buah yang menjadi sarapannya pagi ini. Sikapnya terlihat tenang. Tapi justru itu yang dikhawatirkan Abytra. Ketenangan wanita di depannya itu tidak wajar.

"Apa maksudmu dengan satu bulan?" Pria itu ternyata masih tidak mengerti kemana arah pembicaraan Maura. Ia kini sudah mendorong piring berisi pancake, sarapan paginya, menjauh. Sejak tadi ia hanya memotong-motong makanan itu--hingga bentuknya tak keruan lagi--tanpa ada selera untuk memakannya.

Akhirnya Maura menyerah dengan sarapannya. Ia juga mendorong salad itu menjauh, meraih cangkir kopi dan meneguknya. "Kita mengambil alih perusahaan Thomas. Satu bulan lagi. Kamu bisa bertahan selama itu, kan?"

Kedua tangan Abytra saling meremas di atas meja. Satu bulan, sanggupkah ia bertahan selama itu?

"Aku tidak habis pikir, apa sih yang menarik gadis ingusam yang sedang hamil?"

Diamnya Abytra ternyata membuat Maura tersinggung. Mengetahui Abytra mulai punya rasa kepada Azel membuat Muara sakit hati. Bisa saja ia menghentikan semua ini, agar Abytra tidak lari ke gadis tersebut. Tapi, ia tidak mau akhir yang seperti itu. Ia sudah sejauh ini menemani Abytra. Kalau mereka mundur, mereka tidak akan mendapatkan apa pun. Bahkan ia pun tidak bisa menjamin perasaan Abytra akan tetap sama kepadanya setelah ini.

Namun ia akan membuat Abytra tetap bertahan di tempat semula, berada di sisinya. Dan, inilah rencana yang akan dijalankannya. Kalau Abytra mulai jatuh hati hati kepada gadis ingusan itu, maka Maura akan membuat gadis itu membenci Abytra. Dengan begitu, ia akan bisa memiliki Abytra selamanya.

"Jangan memulai lagi," pinta Abytra lelah. Setelah helaan napas panjang, pria itu kembali berkata, "Baiklah. Satu bulan. Setelah itu kita akhiri ini semua. Lalu kita pergi sejauh mungkin."

***

Sudah dua hari Azel tidak melihat Abytra. Setiap malam ia menunggu pria itu pulang, tapi sampai lewat tengah malam, sama sekali tidak ada tanda-tanda keberadaan Abytra. Azel khawatir. Ingin menghubungi pria itu, tapi ia tidak tahu harus menghubungi kemana. Ia baru sadar tidak punya nomor telepon Abytra.

Azel mendesah. Gadis itu tidak bisa menyangkal bahwa ia mengkhawatirkan Abytra. Dua hari pria itu menghilang, tanpa kabar, bagaimana dia tidak khawatir, coba?

Suara derit pintu rumah dan langkah kaki yang mendekat membuat Azel menoleh. Dalam hati ia berharap itu Abytra. Tapi, Azel mengembuskan napas kecewa saat melihat yang masuk itu cowok berseragam putih abu-abu, Kafka. Seharusnya ia tahu, Abytra tidak mungkin pulang di saat matahari masih bersinar terik, dan langit masih terang benderang.

Kafka menyapa Azel, lalu menjatuhkan diri di sofa di hadapan gadis tersebut. Kafka mengusap wajahnya.

"Lo nunggu dia?" tanya Kafka kemudian. Ia menatap Azel lekat.

Azel mengangguk. Ia tidak perlu menyangkal sebab Kafka tahu sejak kemarin ia banyak menghabiskan waktu duduk di sofa ini menunggu Abytra. Bahkan kemarin malam Kafka menemaninya menunggu sampai larut malam.

"Gue khawatir dia kenapa-napa."

Kafka menatap Azel sedih. Ada sesuatu yang ingin ia beritahu kepada Azel. Tentang pria yang Azel tunggu dan khawatirkan. Tapi Kafka bingung memulainya dari mana. "Jangan terlalu lo pikirin. Takutnya berpengaruh ke kandungan lo." Akhirnya cuma itu yang bisa ia ucapkan.

"Dia nggak ada kabar selama dua hari, Ka. Gimana gue nggak khawatir? Dia suami gue!" Azel terkejut dengan ucapannya barusan, begitu pun Kafka. Tapi, Azel tidak bisa memungkiri. Kenyataannya memang begitu. Abytra suaminya. Dan, memang seharusnya ia khawatir. Itu hal yang wajar dan normal.

Kafka menggeleng pelan. Tatapannya makin sedih. Apa yang Azel rasakan kalau ia tahu tentang itu? Apa ia akan marah? Atau merasa dikhianati? bisik Kafka dalam hati.

"Lo kenapa natap gue seperti itu?" Ternyata Azel merasakan tatapan sedih yang ditujukan Kafka kepadanya.

Kafka menghela napas panjang. Ia terdiam sejenak. Menimbang-nimbang dalam hati apakah ia memberi tahu rahasia tentang Abytra kepada Azel atau tetap menutup rahasia itu serapat-rapatnya.

Pada akhirnya, Kafka memilih untuk memberitahunya. Tidak ada gunanya ia merahasiakan ini. Lebih cepat Azel tahu lebih baik. Daripada ia tahu belakangan, itu pasti rasanya lebih menyakitkan. Dan Kafka tidak ingin Azel disakiti.

"Gue mau ngasih tahu lo suatu hal. Ini tentang Abytra."

"Lo tau dia dimana?" Tubuh Azel menegak. Kedua tanganya bertumpu pada lengan sofa.

Kafka menggeleng. "Bukan itu. Tapi gue rasa lo harus tau ini."

Bahu Azel terkulai. Padahal tadi ia pikir Kafka tahu keberadaan Abytra. Ternyata tidak. "Apa?" tanya Azel, tidak bisa menutupi rasa kecewanya.

"Gue pernah liat Abytra dengan wanita lain. Mesra. Gue rasa mereka punya hubungan khusus."

Kafka menatap Azel, ia pikir gadis itu akan terkejut mendengar informasi yang ia bagi barusan. Tapi, tidak. Wajah Azel sama sekali tidak terkejut. Malah Abytra melihat kesedihan di mata Azel, hanya selintas, sebelum gadis itu mengerjap dan tersenyum tipis.

"Gue tahu," jawab Azel.


"Lo tahu?!" Ternyata Kafka yang dibuat terkejut.

Azel mengangguk. "Gue nggak sengaja dengar saat Abytra teleponan."

"Lo nggak apa-apa?"

Azel tertawa kecil, tapi Kafka bisa merasakan kesedihan di tawa itu. "Itu bukan salah dia."

Kafka membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu. Tapi seseorang lebih duluan menyela.

"Tentu saja aku tidak bersalah."

Kafka dan Azel menoleh serentak. Tak jauh dari mereka sosok itu berdiri dengan seringai menghiasi bibir dan mata menyorot tajam. Sosok itu berdiri dengan angkuh.

"Abytra!" Azel yang pertama kali bereaksi. Gadis itu tidak bisa menahan senyum di bibirnya. Lega melihat pria itu datang dengan kondisi baik-baik saja.

Tapi Abytra tidak menoleh kepada Azel. Tatapannya tertuju kepada Kafka. Keduanya saling menatap tajam. Abytra tersenyum sinis dan berkata, "Kau sudah dengan sendiri, kan? Azel sama sekali tidak keberatan aku punya kekasih. Jadi, jangan ikut campur lagi. Ini bukan sesuatu yang harus dicampuri oleh bocah ingusan sepertimu!"

Setelah mengatakan itu, Abytra melangkah pergi. Menaiki tangga menuju kamarnya.

Kafka mengepalkan tangan. Sementara Azel menatap punggung Abytra yang menjauh dan wajah Kafka--yang mengeras menahan amarah--secara bergantian.

"Kafka ...." Panggilan Azel membuat Kafka menoleh. "Lo nggak apa-apa?"

Kafka memejamkan mata, menarik napas, menghembuskannya pelan-pelan. Setelah perasaannya lebih baik, ia mengangguk.

"Lo pasti capek pulang sekolah. Lo istirahat sana. Gue mau ngomong sama Abytra."

Sekali lagi Kafka mengangguk. Ia berdiri, lalu menuju tangga. Azel mengikutinya dari belakang.

Sesampai di lantai atas, sebelum masuk ke kamarnya, Kafka menoleh ke belakang dan memanggil Azel.

"Ya?"

"Kalo Abytra nyakitin lo, lo harus kasih tahu gue. Gue bakal buat perhitungan dengan dia."

***

Halo semuanya. Alhamdulillah ... akhirnya aku bisa posting. Kalau ada bagian yang kurang, mohon maklumi, ya. Soalnya fisik belum stabil. Mana lagi musim ujian. Banyak kerjaan.

Mau ngucapin makasih buat yang kemarin doain semoga saya cepat sembuh. Senang rasanya dapat dukungan dari kalian.

Yaudah sampai jumpa lagi. Selamat menunggu.

Bubay

Kamal Agusta

Shotgun WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang