#44: Pengakuan (Part 2)

14.3K 1.3K 39
                                    

"Aku menikahimu untuk balas dendam."

Mata Azel membesar. Refleks ia menarik tangan hingga terlepas dari genggaman Abytra. Pria itu merasa kehilangan. Ketika ia berusaha untuk meraih lagi, Azel melipat tangan, meletakkannya di depan dada, lalu mundur.

"A-apa maksudmu?" tanya Azel dengan suara bergetar. Balas dendam? Apa maksud semua ini? Balas dendam atas apa?

Jarak yang diciptakan Azel antara mereka membuat Abytra menelan kekecewaan. Tapi ia tahu, gadis itu lebih dari kecewa. Azel terluka. Dan Abytra merasa benci harus mengakui bahwa dirinyalah pisau yang telah menorehkan luka di hati Azel.

"Maaf." Hanya satu kata itu yang bisa Abytra ucapkan untuk penebusan rasa bersalahnya. Satu kata sederhana, tapi begitu ia harapkan dapat membuat Azel mengerti. Sungguh, saat ini Abytra menyesali tujuannya menikahi Azel adalah untuk balas dendam.

Azel memejamkan mata. Tangannya memijat kepala yang mendadak pening. Sungguh ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

"Aku butuh penjelasan," kata Azel lirih.

Abytra diam. Menelan ludah. Penjelasan seperti apa yang harus ia berikan agar tidak semakin parah melukai hati Azel? Tidak ada. Penjelasan seperti apa pun pada akhirnya pasti tetap menambah sayatan luka di hati gadis tersebut. Semanis apa pun kenyataan pahit di ungkapkan, tetap saja menyakitkan.

Pada akhirnya Abytra memilih untuk jujur tentang semuanya. Azel berhak tahu. Kalau setelah ini gadis itu membencinya, Abytra hanya bisa menerimanya. Sebab sejak awal dirinyalah yang bersalah.

Abytra pun mulai menceritakan alasan kenapa ia setuju menikahi Azel.

"Tidak!" Azel menggeleng-geleng, menyangkal semua informasi yang baru saja diceritakan Abytra. Rasanya mustahil sekali. Ia kenal Papa. Pria itu tidak akan berbuat sekejam itu. "Papa, tidak mungkin melakukan itu," Azel masih berusaha menyangkal, "kamu pasti salah."

Benarkan Abytra yang salah menduga selama ini? Tidak ... tidak mungkin. Jelas-jelas sebelum meninggal Ayah pernah menyebut nama Thomas. Rekan bisnis yang mengkhianati ayahnya. Atau memang ada kesalahpahaman?

"Tapi, itulah kenyataannya. Ayahku meninggal dalam penjara. Menyandang status sebagai tahanan sampai akhir hayatnya. Lalu ibuku menyusul karena terlalu berat menerima kenyataan ayah harus pergi dengan cara setragis itu. Coba kau bayangkan bagaimana perasaanku? Hatiku hancur. Aku marah. Aku dendam!" teriak Abytra. Entah kenapa ia ingin mengeluarkan semua sesak yang selama ini ia pendam. Ia ingin seseorang tahu bahwa hatinya hancur tak berbentuk lagi setelah kematian kedua orangtuanya.

Tidak ... Azel tidak akan pernah membayangkan hal itu terjadi padanya. Ia pasti tidak akan sanggup. Kehilangan dua orang yang sangat berarti dalam hidup secara berturut-turut, dengan tragis pula, sungguh pukulan menyakitkan. Ia pasti sudah jatuh depresi. Mungkin sudah mengakhiri hidup pula.

Tapi tetap saja ... mengetahui kenyataan bahwa tujuan Abytra menikahinya hanya demi dendam masa lalu itu membuatnya merasa hancur. Terlebih sekarang ada cinta yang ia jaga untuk pria itu. Lalu apa arti kebersamaan dan keintiman mereka akhir-akhir ini? Apa itu palsu juga? Apa ini bagian dari rencana Abytra untuk membalas dendam?

Azel tergugu. Ia membekap mulut dengan tangan, berharap mampu meredam tangis. Namun tetap saja, isaknya lolos dan di dengar oleh Abytra.

"Apa ini penjelasan atas sikap dingin yang kamu tunjukkan kepadaku dulu?" tanya Azel di sela isak tangisnya.

Abytra memalingkan wajah dan memejamkan mata. Melihat Azel menangis membuat dadanya ikut terpilin. Ia tidak sanggup menerima kenyataan gadis itu menangis karenanya. Tapi ini semua belum selesai. Masih banyak hal yang harus ia ungkapkan. Dan itu dipastikan akan menambah lebih banyak luka lagi.

"Menikahimu adalah satu-satunya cara agar aku bisa masuk ke keluargamu. Terbersit juga keinginan untuk melukaimu. Sebab melihat orang yang kita sayangi menderita itu rasanya sungguh menyakitkan. Aku ingin papamu merasakan itu. Aku ingin hati papamu juga hancur. Tapi ... semua tidak berjalan sesuai rencana. Seperti senjata makan tuan. Aku malah terjebak oleh perasaanku sendiri."

"Terjebak perasaaanmu sendiri?"

Abytra mengangguk. "Perhatian dan segala hal yang kamu berikan kepadaku, perlahan mulai membuatku merasakan hal yang berbeda. Aku mati-matian untuk mengusir perasaan itu. Aku menyangkalnya terus-menerus. Tapi, semakin sering aku menolak, aku malah semakin jauh jatuh dalam perasaan itu. Aku terlalu jauh jatuh untuk mencintaimu."

Jadi ... Abytra benar-benar menyukainya? Jadi apa yang Azel rasakan selama ini bukan perasaan yang semua?

"Kalau begitu, kenapa kita tidak bisa memulainya dari awal lagi?" pinta Azel penuh harap. Meski ia tahu niat awal Abytra menikahinya bukanlah hal yang terpuji, tetap saja rasa cintanya kepada pria itu saat ini lebih besar. Ia bisa memaafkan pria itu. Dan menganggap ini semua tidak pernah terjadi.

Tapi nyatanya Abytra malah menggeleng.

"Keadaan sekarang terlalu rumit. Aku tidak bisa berpura-pura bahwa keadaan akan membaik begitu saja. Ada hal yang harus aku akhiri terlebih dahulu."

"Tapi--"

Abytra memotong lebih dahulu. "Kali ini, bisakah kamu memercayaiku?"

Azel terdiam. Dengan mata basah ia menatap Abytra. Ada pengharapan di sana. Akhirnya Azel mengangguk.

"Aku harus mengakhiri apa yang sudah aku mulai. Aku harus bertanggung jawab. Oleh karena itu aku harus pergi untuk sementara. Menjauhimu. Tapi, aku berjanji setelah semua masalah ini berhasil kutangani, aku pasti akan kembali. Untuk itu maukah kamu menunggu di sini sampai aku kembali?"

"Pergi? Kenapa kamu harus pergi?"

Sungguh Azel tidak ingin pria itu pergi. Cukup sekali ia ditinggalkan oleh orang yang ia cintai. Untuk kali ini ia tidak ingin lagi.

"Karena ini satu-satunya cara untuk menjauhimu dari rasa sakit yang akan muncul karena rencanaku. Aku sudah terlalu banyak melukaimu, dan aku tidak ingin menambahnya lagi."

"Tapi berapa lama?"

"Secepat yang aku bisa. Yang aku inginkan, kamu percaya bahwa aku pasti akan kembali."

Kali ini Abytra mendekat. Meraih tangan Azel. Gadis itu tidak lagi mundur. Ia menatap tangannya yang berada dalam gengaman pria yang ia cintai.

Bisakah kali ia menunggu? Mendadak Azel gamang. Kejadian masa lalu kembali menghampirinya. Dulu ... seseorang pernah memintanya menunggu juga. Seperti ini. Tapi orang itu malah pergi, dan meninggalkannya seorang diri. Menanggung semua masalah yang telah mereka perbuat bersama.

Genggaman yang mengerat menyadarkan Azel dari lamunan. Gadis itu mengangkat wajah, dan matanya bertemu dengan mata Abytra. Mata yang penuh pengharapan itu membuat dadanya sesak.

Mungkin sekali lagi ... ia harus menunggu. Ia harus mempercayai. Sebab ia mencintai pria itu. Cinta seharusnya harus sepaket dengan rasa percaya.

Akhirnya Azel mengangguk. "Aku akan selalu menunggumu."

Abytra tersenyum lega. Ia menangkup wajah Azel dengan kedua tangannya. "Satu hal yang harus kamu yakini, aku mencintaimu. Aku pasti akan kembali. Untuk menebus semua rasa sakit yang sudah kuberikan kepadamu."

Setelah mengatakan itu, Abytra menunduk. Dan melabuhkan kecupan di bibir Azel. Gadis itu memejamkan mata. Menikmati cumbuan yang mungkin tidak akan ia temui lagi dalam beberapa waktu ke depan.

Ciuman itu berakhir dengan wajah mereka yang memerah dan napas yang memburu. Abytra mengusap sudut Azel yang merah dan basah.

"Teruslah menjadi gadis yang kuat. Sampai aku kembali," pinta Abytra dengan suara berbisik, dan Azel menjawabnya dengan menarik kepala pria itu mendekat, dan kembali berciuman.

***

Shotgun WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang