#43: Rahasia (Part 2)

14.4K 1K 92
                                    

Ketika melihat Maura memasuki perkarangan rumah, Abytra langsung berdiri. Sudah sejam lebih ia duduk di kursi rotan di teras depan rumah Maura, menunggu wanita itu pulang. Maura yang melihat Abytra tersenyum lebar.

"Apa yang kau rencanakan?!" tanya Abytra langsung saat Maura berdiri di hadapannya. Mata gelap pria itu menatap tajam.

Maura mendengkus. "Apa tidak bisa kau menyapaku dulu? Apa sangat sulit sekarang sekadar mengucapkan halo sayang?"

Melihat Abytra tidak bereaksi atas ucapannya, Maura memilih melewati pria itu. Di depan pintu, Maura menunduk, mencari-cari kunci rumah di dalam tas. Setelah ketemu, dimasukkannya anak kunci ke dalam lubang, diputar hingga terdengar bunyi klik dua kali. Kemudian wanita itu meraih handle pintu, menekannya ke bawah dan mendorong pintu hingga terbuka.

"Ayo masuk!" ajak Maura. "Kita bisa bicara di dalam." Tanpa menunggu respon Abytra, wanita itu sudah melenggang masuk. Abytra menarik napas, mengembuskannya berat, lalu memgikuti langkah Maura.

Maura meletakkan tas di atas meja di ruang santai, dan berlalu ke dapur untuk mencari minum. Abytra masih bisa melihat wanita itu membuka lemari pendingin karena antara dapur dan ruang santai hanya disekat oleh dinding kaca tembus pandang.

"By, kau mau teh, kopi, atau soft drink?" teriak Maura dari dapur.

"Yang kumau itu penjelasanmu," balas Abytra, juga berteriak.

Maura tersenyum sinis, lalu menyahut, "Tidak ada yang harus kujelaskan. Jadi, soft drink aja?"

Terdengar bunyi debaman pelan ketika Maura menutup pintu kulkas. Lalu wanita itu kembali ke ruang santai dengan membawa dua kaleng soft drink di tangan. Ia meletakkan satu kaleng di meja, tepat di hadapan Abytra. Sementara satu lagi ia buka dan langsung meneguknya. Rasa dingin minuman soda itu langsung menyapu kekeringan tenggorokan Maura.

"Apa yang sudah kau katakan kepada Kafka?"

Maura menurunkan kaleng dari bibirnya, lalu mendesah. "Bahkan memberiku waktu untuk minum saja kau tidak bisa," gerutunya dengan bibir cemberut. "Aku benar-benar tidak mengenal dirimu lagi," tambahnya kemudian.

"Jangan mengalihkan pembicaraan!" sentak Abytra. Sejak tadi ia sudah berusaha menahan diri dengan sikap Maura yang bertele-tele.

"Aku tidak mengalihkan pembicaraan!" balas Maura sama kerasnya. "Itu kenyataannya."

Abytra menyugar rambutnya. Sungguh kedatangannya ke sini hanya ingin meminta penjelasan Maura mengenai kedatangan wanita itu ke rumah Thomas. Ia ingin tahu apa yang Maura rencanakan. Ia ingin bicara baik-baik, tidak saling teriak seperti ini.

"Tolong jangan memulai perdebatan," pinta Abytra. "Aku ke sini untuk bicara baik-baik."

Wanita itu tertawa sinis, "Terus saja salahkan aku."

"Maura ...."

Maura berdiri. Lalu ia berkata dengan nada tajam, "Lebih baik kau pergi saja. Karena aku juga sedang tidak ingin berdebat."

Mata Abytra membesar. Tidak pernah Maura mengusirnya seperti ini.

"Kau pergi sekarang, atau aku melakukan hal nekat lainnya yang akan membuatmu menyesal," ancam wanita itu.

Abytra mengusap wajah, lalu berdiri. Tanpa diusir untuk kedua kalinya, pria itu melangkah pergi. Sebelum keluar dari pintu ia menoleh ke belakang, melihat Maura. Tapi, wanita itu sudah tidak ada. Yang tersisa hanyalah dua kaleng soft drink yang dindingnya berembun.

Abytra memejamkan mata. Sekarang pria itu tahu, dirinya dan Maura sudah berada di pihak yang berbeda. Tujuan mereka tak lagi sama. Karena ada yang berkhianat, yaitu dirinya.

***

"Lo masih nggak mau cerita ke gue?"

Sore itu, seperti biasa, Azel dan Kafka berada di ruang santai keluarga Thomas. TV plasma berukuran 64 inch menyala. Sedang menayangkan iklan. Azel duduk di sofa berlengan, sambil memeluk bantal. Sementara Kafka menyandarkan di dinding, memangku gitar kesayangannya.

Kafka memberdirikan gitar, lalu memeluknya. Dagu cowok itu di letakkan pada bodi gitar.

"Ini nggak ada sangkut pautnya sama lo," kilah Kafka.

Azel menyipitkan mata. Lalu mendesah. "Lo nggak perlu bohong."

Kafka tidak menjawab. Ia lebih memilih menunduk, lalu menelusuri serat kayu pada bodi gitar dengan telunjuknya.

"Cara wanita itu natap gue, gue tau ini ada kaitannya dengan gue," lanjut Azel. "Lo pasti tau, mata adalah cerminan perasaan. Tatapan mata adalah refleksi dari apa yang lo simpan di sini." Azel menyentuh dadanya.

"Itu hanya perasaan lo," Kafka masih berusaha menyangkal.

"Kaf ...."

"Itu masalah gue, Zel. Sama sekali nggak ada sangkut pautnya sama lo."

"Oke-oke. Terus masa apa yang udah lo lakuin dengan wanita yang usianya jauh di atas lo?"

Sekali lagi Kafka bungkam. Ternyata sekali ia berbohong, ia harus melakukan kebohongan lain demi menutupi kebohongan sebelumnya.

"Menurut lo masalah apa yang dihadapi oleh seorang pria dengan wanita?"

Mata Azel membesar saat satu gagasan menyelinap masuk ke benaknya. Ia menatap Kafka tidak percaya. Tidak ... ini tidak mungkin, sangkalnya. Azel menggeleng, mengusir gagasan itu lenyap dari pikirannya.

"Nggak. Lo nggak mungkin ...." Azel tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.

Demi menutupi kebohongan dengan baik, Kafka tersenyum masam. "Tapi itu yang terjadi. Sorry, gue nggak bisa ceritain ini sama lo."

Azel mengusap wajahnya. "Sudah berapa lama kalian berhubungan?"

"Kami sudah berakhir. Dan gue nggak mau membicarakannya lagi."

Nada final itu membuat Azel tak lagi bertanya. Mungkin benar, Azel tidak perlu terlalu ikut campur masalah Kafka dengan wanita itu.

Akhirnya Azel kembali menatap layar televisi. Sementara Kafka memetik senar gitar. Nada lembut mengalun, di susul nyanyian Kafka.

Katakanlah sekarang bahwa kau tak bahagia ...
Aku punya ragamu tapi tidak hatimu ...
Kau tak perlu berbohong
Kau masih menginginkanya ...
Kurela kau dengannya
Asalkan kau bahagia ...

(Armada - Asal Kau bahagia)

Azel menoleh kepada Kafka, dan melihat mata saudaranya itu terpejam. Sepertinya ini memang masalah cinta, bisik Azel dalam hati.

***

Halo semuanya. Aku balik lagi. Ada yang kangen nggak, nih? Yang kangen angkat tangannya doooong? Hahhaha ....

Maaf kemarin malam tidak update karena aku sedang menyiapkan proses terbit naskahku untuk bulan depan. Jadi editor minta aku nambahin beberapa ekstra part. Demi memuaskan pembaca. Karena itulah aku harus memilih prioritas yang lebih diutamakan.

Nah sekarang udah balik lagi. Semoga kalian masih setia pada Aby-Zel.

Yaudah segini aja. Udah mau jam sepuluh. Besok masih harus sekolah. Maklum anak SD. Hahaha ...

Sampai jumpa.
Bubay

Kamal Agusta ^^

Shotgun WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang