#35: Mengisi Pikiran (Part 2)

13.5K 1.1K 32
                                    

Maura mengangkat tangannya dari meja dan memundurkan punggung sampai bersandar pada sandaran bangku. Lalu wanita itu mendengkus dan tertawa pelan. Benar, kan, yang ia duga. Pasti ada sesuatu yang mengusik pikiran Abytra. Kalau tidak, mana mungkin pria itu bisa mengubah rencana tiba-tiba seperti ini.

"Kenapa?" tanya Maura dengan tangan terlipat di dada. Tatapannya lekat kepada Abytra, menuntut penjelasan.

Abytra mengalihkan pandangan. Ia takut Muara dapat membaca isi pikirannya saat ini. Tidak ... ia tidak bisa membiarkan itu. Maura tidak boleh tahu kegelisahan yang menerpa hatinya saat ini.

"Kamu berutang penjelasan kepadaku, Abytra Ramadhan," tuntut Maura dengan intonasi tegas. Mata wanita itu menyipit.

"Aku mulai berpikir kalau lebih cepat kita menyelesaikan ini semua, maka akan lebih baik. Kau dan aku akan bisa bersama lagi." Tentu saja alasan itu tidak seratus persen benar. Dan hebatnya, Muara dapat merasakannya.

Sekali lagi wanita itu tertawa pelan, tapi terdengar menusuk. Sementara Abytra mulai memainkan jarinya, mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuk. Dan gerakan itu tertangkap dalam penglihatan Muara.

"Ada perbedaan yang sangat besar antara cepat dan terburu-buru, Aby. Dan saat ini aku lebih merasakan kamu sedang terburu-buru."

"Aku tidak terburu-buru!" sangkal Abytra.

"Kamu lupa sudah berapa lama kita bersama?"

Abytra mengatup rahangnya keras, tak merasa punya kewajiban menjawab. Sebab ia tahu, pertanyaan Maura tersebut tidak membutuhkan jawaban darinya. Itu tipe pertanyaan retoris.

"Aku sudah begitu mengenalmu, Abytra Ramadhan," sekali lagi Maura menyebut nama pria itu dengan lengkap, pertanda pembicaraan ini sudah masuk dalam wilayah sangat serius. "Aku sudah tahu akhir-akhir ini kami sedang terusik oleh sesuatu ... yang aku sendiri belum tahu itu apa. Aku sengaja membiarkanmu dan tidak mendesaknya untuk menceritakan kepadaku. Karena aku percaya kamu akan bisa mengatasi ini." Ada jeda sesaat ketika Maura menarik napas.

"Tapi sepertinya kali ini kamu tidak bisa mengatasinya. Sebenarnya ada apa?"

"Aku sudah mengatakannya dengan sangat jelas. Aku ingin kita cepat mengambil alih perusahaan Thomas." Abytra masih tetap bertahan untuk menyangkal

Maura memijat pelipisnya, baru kali ini mereka berdebat seperti ini. Baiklah, tidak ada gunanya mengonfrontasi Abytra terlalu terbuka seperti ini. Percuma, pembicaraan ini sepertinya akan terus berputar-putar di tempat yang sama. Dan, hal itu hanya akan menambah sakit kepala.

"Terserahlah. Aku tidak mau melanjutkan pembicaraan ini."

Abytra mengembuskan napas kesal. Bukan kesal kepada Maura yang kali ini tidak berada dipihaknya. Tapi, kesal kepada dirinya sendiri. Sebab ia tahu, apa yang dikatakan Maura benar. Dirinya dalam keadaan terburu-buru.

Tapi ini semua demi kebaikan dirinya juga, kan? Agar ia tidak perlu lagi tenggelam oleh kegelisahan yang ia sendiri tidak tahu kenapa ia harus merasakan hal itu.

Suara derit bangku menggesek lantai membuat Abytra mengangkat wajah. Ia melihat Muara berdiri.

"Aku tahu semua ini masalahmu, dan kamu yang seharusnya punya hak untuk menentukan bagaimana akhirnya. Tapi ... aku tidak bisa membiarkanmu kehilangan kesempatan karena sikap terburu-burumu yang mendadak seperti ini. Seperti yang kamu sering bilang kepadaku, kita harus hati-hati, jangan gegabah, karena kesempatan tidak pernah datang dua kali."

Abytra membenturkan punggungnya ke sandaran bangku, mengusap tangan ke wajah dengan kasar, lalu mengembuskan napas dengan gusar. Sekali lagi ia ditampar oleh kata-kata Maura.

"Lebih baik kamu pulang, dan beristirahat untuk menjernihkan pikiranmu."

Tidak, ia tidak ingin pulang di saat seperti ini. Sebab pikirannya tidak akan jernih. Malah bertambah keruh.

"Atau kalau mau, kamu bisa tidur di sini. Aku mau kembali bekerja."

Abytra mengangguk. "Tapi aku antar kamu dulu," kata Abytra sambil mendorong bangku ke belakang dan berdiri.

Maura menggeleng. "Saat ini kamu sedang kacau. Aku pergi sendiri saja," tolak Maura tegas, sama sekali tidak ingin dibantah.

***

Deru pendingin ruangan, suara detik jam, mengisi pendengaran Abytra. Saat ini pria itu sedang berbaring dalam posisi terlentang di kamar tamu--kamar yang sering ia tempati ketika menginap. Sejak tadi Abytra berusaha memejamkan mata, tapi dirinya tak juga tenggelam dalam lautan mimpi. Pada akhirnya Abytra hanya menatap langit-langit kamar yang berwarna putih tulang itu dengan hampa.

Kamu berutang penjelasan kepadaku, Abytra Ramadhan...

Kata-kata Maura tadi masih berbekas di ingatannya. Itu menambah kegelisahan di hatinya. Sebab, ia tahu, dirinya memang berutang penjelasan kepada Maura. Tapi ... mana mungkin ia mengatakan hal yang sebenarnya kepada kekasihnya, kan? Maura bisa terluka. Dan ... ia sama sekali tidak ingin melukai seseorang yang selalu berada di sisinya selama ini.

Aku tidak mungkin jatuh cinta kepada gadis belasan tahun. Dan kau tahu sendiri, hati ini sudah ditempati olehmu.

Abytra teringat kembali ucapannya kepada Maura beberapa bulan lalu. Saat itu Maura mengatakan keberatan kalau Abytra harus menikahi putri Thomas yang sedang hamil. Maura takut Thomas jatuh hati kepada Azel. Tapi, Abytra meyakinkannya bahwa ia tidak mungkin jatuh cinta kepada Azel. Pada akhirnya Maura setuju dan memegang janji Abytra tersebut.

Tapi sialnya, kini pria itu harus menelan kata-katanya sendiri. Sekarang ia tahu, bahwa gadis bernama Azel itu mulai mengusiknya. Perhatian yang sering diberikan gadis itu mulai memberikan kehangatan pada hatinya. Tatapan, senyum tipis, dan aroma tubuh gadis itu mulai meninggalkan bekas di sudut pikirannya. Menetap dan tidak bisa ia suruh pergi. Dan itulah yang membuat Abytra gelisah.

Abytra takut kalau ia tinggal lebih lama dengan gadis itu, hatinya akan berubah, dan jatuh cinta. Dan ... sungguh ia tidak berharap itu terjadi.

Sebab tujuannya sejak awal adalah untuk menyakiti gadis itu dan membalaskan dendamnya.

***

Shotgun WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang