#26: Kebohongan

15.9K 1K 74
                                    

Semua orang bertepuk tangan setelah Abytra selesai presentasi. Di kursinya Thomas menatap Abytra dengan puas sekaligus bangga. Tidak menyangka menantunya bisa mempunyai ide tak terduga seperti itu untuk meningkatkan produksi perusahaan.

"Prestasimu tadi bagus," puji Thomas setelah Abytra duduk di sampingnya.

Abytra menoleh, menampilkan senyum tipis, lalu mengangguk. "Saya senang Bapak menyukainya."

Meski sudah menikahi Azel, Abytra memanggil Thomas dengan sebutan Bapak di kantor. Thomas memakluminya. Sama sekali tidak terganggu dengan panggilan itu. Malah terselip rasa bangga karena menantunya itu bersikap profesional.

Hari ini adalah presentasi pertama Abytra dengan dewan pimpinan perusahaan Thomas. Sejak menyokong dana, secara tidak langsung, perusahaan milik Abytra menjalin kerjasama dengan perusahaan milik Thomas. Memang, perusahaan Abytra tidak sebesar milik Thomas. Tapi, kondisinya saat ini lebih baik mengingat perusahaan Thomas baru saja melewati masa sulit, hampir terancam pailit. Makanya Thomas sangat beruntung Abytra mau membantu perusahaan miliknya.

Rapat berakhir. Semua orang mulai meninggalkan ruangan. Beberapa malah menyapa Abytra dan menyalaminya. Mengucapkan pujian atas presentasinya tersebut. Abytra menanggapinya dengan kalem, hanya menjawab seadanya dan senyuman tipis.

Kini, hanya Abytra dan Thomas berada di dalam ruangan. Thomas berdiri lalu berkata kepada Abytra, "Kalau kamu tidak terburu-buru, kita makan siang bersama dulu."

Abytra melihat jam dipergelangan tangan, lalu menggeleng. "Maaf saya harus pergi. Sudah ada janji."

Meski kecewa, Thomas memakluminya.

"Untuk selanjutnya, mungkin orang kepercayaan saya yang akan sering ke sini, membicarakan mengenai kelanjutan kerjasamanya," tambah Abytra.

Abytra segera berpamitan pada Thomas. Sungguh ia tidak tahan berlama-lama bersikap manis seperti ini di depan pria yang ia benci. Perutnya sudah bergejolak, ingin muntah. Abytra menyalami Thomas, lalu melangkah pergi.

Tapi, baru beberapa langkah, pertanyaan Thomas membuatnya berhenti.

"Kenapa kamu mau menikahi Azel?" ulang Thomas sekali lagi. Sungguh ia masih bingung dengan keputusan Abytra menikahi Azel. Padahal menurut Thomas, pria seperti Abytra bisa mendapatkan wanita lebih baik. Thomas tidak beranggapan Azel tidak baik, hanya saja ... ya Abytra mungkin bisa mendapatkan wanita yang tidak hamil oleh pria lain.

Suduh bibir Abytra berkedut. Lalu, ia tersenyum tipis. "Saya sudah mengatakan alasannya kepada Bapak dulu, dan ... saya rasa Bapak masih mengingatnya dengan cukup baik."

***

Suatu siang beberapa bulan lalu.

Thomas menutup telepon dengan bantingan. Barusan itu sungguh kabar yang sangat buruk. Bikin sakit kepala Thomas makin menjadi.

Satu masalah belum selesai. Sekarang tambah lagi satu masalah yang tak kalah rumitnya. Ingin rasanya Thomas membenturkan kepala ke meja saking frustasinya.

Pria itu mengusap wajahnya, lalu menyugar rambut dengan kasar. Kemudian dia mengembuskan napas panjang yang berat.

Suara telepon kembali menyalak. Thomas melirik benda tersebut, dan mendengkus. Sekarang kabar buruk apa lagi yang akan dia terima?

"Halo," jawab Thomas sama sekali tidak ramah.

Ia diam sejenak. Mendengar sekertarisnya bicara. Lalu Thomas menyahut, "Suruh saja mereka masuk." Setelah mengatakan itu Thomas memutuskan sambungan.

Tak lama kemudian Harlan, salah satu orang kepercayaannya masuk. Tapi tidak sendirian. Ia bersama seorang pria berpakaian necis. Thomas mempersilakan mereka untuk duduk. Kemudian Harlan memperkenalkan pria itu kepada Thomas.

"Abytra Ramadhan," kata pria di hadapan Thomas tersebut. Thomas memperhatikan pria tersebut dengan lekat, bertanya-tanya apa maksud kedatangan pria tersebut ke kantornya.

"Begini, Pak. Abytra ini bilang ia bersedia membantu masalah Bapak mengenai putri Bapak," Harlan yang pertama kali bersuara.

Tatapan Thomas beralih kepada Harlan. Memang, beberapa waktu lalu Thomas sempat bercerita kepada Harlan tentang masalah yang dihadapinya karena kehamilan putrinya Azel. Ia juga sempat meminta bantuan Harlan untuk masalahnya itu.

"Apa kamu sudah menceritakan masalahnya?" tanya Thomas kepada Harlan.

Harlan mengangguk.

Kini Thomas kembali menatap Abytra. Dari penampilan Thomas bisa menilai pria di hadapannya itu termasuk pria yang mapan, juga gagah. Lihat saja postur tubuhnya yang tinggi tegap, bahu yang lebar, dan rahang yang tegas. Wajahnya terkesan dingin, tapi di sanalah kharismanya. Thomas menaksir umur pria bernama Abytra ini pastilah di atas tiga puluhan.

"Apa kamu yakin?"

Abytra yang ditanya langsung menjawab, "Ya." Sama sekali tidak ada keraguan.

"Kenapa?"

Meski Azel hamil dan Thomas butuh pria untuk menikahi putrinya, tetap saja ia harus selektif. Bagaimanapun Azel putri kesayangannya. Ia tidak ingin salah langkah menikahkan Azel dengan pria yang tidak tepat.

"Karena saya butuh wanita yang mau menikah dengan saya. Dan Bapak butuh pria yang siap menikahi putri Bapak. Saya rasa alasan itu sudah cukup."

Thomas menghela napas panjang. Jawaban Abytra belum memuaskannya. Ia belum merasa yakin.

"Kalau alasanmu karena ingin menikah, saya rasa banyak wanita yang akan mau dinikahi olehmu."

Abytra menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Ia menarik napas panjang yang berat.

"Sebenarnya saya tidak mau mengatakan alasan ini. Tapi, kalau alasan ini bisa membuat Bapak percaya, saya tidak punya cara lain." Abytra menatap Thomas. Tatapan itu mengandung kesedihan yang kental.

"Jadi, apa alasan sebenarnya?"

"Saya punya saudara perempuan. Kakak saya. Dia hamil. Tidak ada pria yang mau menikahinya. Dia malu lalu depresi. Tak sanggup menanggung beban, kakak saya memutuskan mengakhir hidupnya. Dan saya tidak ingin putri Bapak bernasib seperti kakak saya. Saya tidak ingin ada lagi gadis yang berakhir dengan bunuh diri."

Thomas menelan ludah. Alasan yang barusan ia dengan sungguh tidak terduga. Membuat jantungnya berdetak cepat. Seketika ia teringat Azel. Teringat kondisi putrinya yang sedang dalam keadaan sangat tidak baik.

"Tapi apa kamu yakin?"

Sekali lagi Abytra mengangguk mantap seperti sebelumnya.

Thomas pun akhirnya tidak punya pilihan lain. Ia menerima Abytra. Lagi pula ia tidak yakin apakah nanti akan ada pria lain yang mau menikahi Azel seandainya ia menolak Abytra. Semoga keputusannya ini tepat.

"Jadi kapan saya bisa bertemu dengan putri Bapak?"

***

Abytra menutup pintu mobil. Lalu ia tertawa geli. Sungguh ia tidak tahu bahwa Thomas akan sebodoh itu. Percaya saja dengan alasan yang ia berikan dulu.

Kakak perempuan? Sejak kapan ia punya kakak perempuan, hm?

Sungguh, Abytra tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Thomas kalau tahu selama ini ia telah mempercundangi pria tersebut. Tapi siapa peduli? Thomas pantas mendapatkannya. Tinggal menunggu sebentar lagi, Thomas akan merasakan semua rasa sakit yang ia rasakan selama ini.

Penderitaan harus dibalas dengan penderitaan, bisik Abytra sebelum menginjak pedal gas dan mobil pun melaju meninggalkan basment gedung perusahaan Thomas.

Shotgun WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang