#23: Secuil Perhatian

16.1K 1.2K 35
                                    

Malam itu Azel terbangun saat mendengar suara rintihan. Ia mengerjapkan mata, menyesuaikan penglihatan dengan pengcahayaan yang minim. Setelah penglihatannya cukup baik, Azel duduk lalu menoleh ke kanan, ke arah meja nakas di samping ranjang dan mengulurkan tangan untuk menyalakan lampu meja. Cahaya berhamburan membanjiri ruang kamar yang semula gelap.

Rintihan itu terdengar lagi. Asalnya dari sebelah kiri Azel. Saat ia menoleh, ia mendapati Abytra meringkuk dengan tangan memeluk tubuh, gemetaran. Wajah pria itu pucat, dan dari bibirnya keluar rintihan pelan.

Azel beringsut sedikit, memangkas jarak di antaranya dan Abytra. Di dorong rasa penasaran, Azel memberanikan diri menyentuh pipi pria di sampingnya itu. Alangkah terkejutnya Azel saat telapak tangannya merasakan sesuatu yang panas. Sepertinya Abytra terkena demam tinggi.

Azel melirik jam di dinding. Pukul dua dini hari. Sejenak Azel terdiam, memikirkan apa yang harus ia lakukan. Ia tahu, selama ini hubungan mereka hanya suami-istri dalam buku nikah. Tak lebih dari itu. Interaksi mereka bisa dibilang nol besar. Tapi, apa Azel tega membiarkan Abytra sakit seperti itu?

Akhirnya, Azel turun dari ranjang. Setidaknya untuk kali ini ia harus melakukan sesuatu. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan saat ini adalah mengompres Abytra. Semoga saja hal itu bisa menurunkan panas pria tersebut.

Azel berjalan menuju lemari di sudut kamar. Dengan gerakan pelan, sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara, Azel membuka pintu lemari. Setelah mendapatkan handuk kecil bersih, Azel mengarah ke kamar mandi. Tak lama, ia keluar dengan baskom berisi air.

Azel meletakkan baskom di atas meja nakas. Lalu ia meraih handuk yang tersampir di bahu, mencelupkannya ke dalam air baskom, dan kemudian memerasnya. Setelah itu Azel melipatnya dan menempelkan ke dahi Abytra.

Sekali lagi Abytra merintih. Tapi, kali ini rintihannya bisa tertangkap jelas oleh Azel. Abytra menyebutkan satu kata dengan nada sedih, membuat Azel mematung dan menatap wajah pria itu dengan hati terenyuh.

Ibu. Itulah yang diucapkan Abytra berulang-ulang dalam rintihannya.

Azel menarik napas. Entah kenapa melihat pria yang selama ini terlihat tangguh merintih dalam tidur seperti ini membuat dada Azel sesak. Ia jadi bertanya-tanya, apa yang terjadi kepada ibu Abytra?

Azel menggeleng. Itu bukan urusannya. Ia tidak perlu tahu dan ikut campur. Lalu, Azel bermaksud membasahi kembali handuk kecil tersebut. Saat ia mengambilnya dari dahi Abytra, tiba-tiba mata pria itu terbuka. Mereka saling berpandangan. Tidak hanya itu, Abytra juga memegang pergelangan tangannya.

Belum hilang rasa terkejut Azel, Abytra lebih dahulu berkata dengan suara serak dan dalam.

"Ibu, akhirnya kita bisa ketemu lagi."

***

"Ibu, akhirnya kita bisa ketemu lagi," bisik Abytra dengan suara lirih. Mata pria itu berkaca-kaca. Benar-benar bahagia karena keinganan yang sejak lama terpendam kesampaian juga.

Abytra mengamati wajah Ibu. Tidak ada yang berubah. Wajah ibu masih sama seperti yang ia ingat. Alisanya, matanya, hidungnya, bibirnya, bahkan tahi lalat di dagu Ibu juga masih sama. Ibu menatap Abytra dengan pandangan teduh. Lalu, tersenyum tipis.

"Aby kangen Ibu," Abytra menelan ludah. Akhirnya, setelah bertahun-tahun ia bisa mengatakan itu lagi.

Tapi, Ibu tidak mengatakan sepatah kata pun. Wanita berwajah lembut itu tetap diam. Hanya senyumnya yang sama sekali tidak pernah luntur.

Tapi, hal itu tak masalah bagi Abytra. Ia tidak peduli Ibu mau bicara atau tidak. Terpenting saat ini baginya hanya satu, dapat melihat wanita yang dicintainya sepenuh hati itu, dan memeluk dan mencium aroma tubuhnya.

Shotgun WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang