#19: Kenyataan yang Terkunci di Ujung Lidah

18.9K 1.2K 107
                                    

Salah satu hal yang tidak mengenakan dari menyimpan sebuah rahasia adalah perasaan gelisah yang terus menghantui hingga membuatmu merasa sulit walau itu hanya untuk bernapas. Itulah yang terjadi pada Kafka. Pemandangan yang ia lihat sebelum masuk studio bioskop, sampai detik ini masih jadi rahasianya. Dan, Kafka tidak suka dengan perasaan gelisah yang membuat dadanya sesak ini.

Sebenarnya sepulang dari mal tadi Kafka ingin memberitahukan hal ini kepada Azel. Kakak perempuannya itu harus tahu bahwa suaminya bermain api dengan wanita lain di luar sana. Tapi saat melihat Azel yang tenang merajut di kursi malas, Kafka jadi tidak tega. Apalagi sejak dirinya hamil, baru akhir-akhir ini Azel terlihat hidup tanpa beban dan lebih banyak tersenyum. Kafka tidak ingin kabar ini membuat Azel kembali ke masa kelamnya.

Namun, Kafka harus menanggung akibat dari rahasia yang ia simpan sendiri itu.

Suara dentang jam yang menunjukan pukul dua belas malam berbunyi nyaring. Di kamarnya Kafka masih terjaga. Duduk di depan pintu balkon, menatap lagi yang malam itu sepi dari kerlip bintang, dengan perasaan tak menentu. Kilasan kejadian tadi sore masih membekas di ingatannya. Dan seperti potongan-potongan film, ia terus berputar-putar.

Rahang Kafka mengetat saat bayangan Abytra menggenggam mesra tangan wanita itu kembali memenuhi isi kepalanya. Tangan Kafka terkepal dan ia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya pelan-pelan. Dilakukannya hal itu berulang-ulang. Dengan tujuan dapat membuatnya tenang dan mendepak adegan mesra Abytra dan wanita asing itu dari pikirannya.

Kafka membuka mata. Tatapnya bertemu dengan bulan yang malam itu sendirian dan berwajah muram. Sama persis seperti dirinya saat ini.

Seandainya ada Ibu di sini, bisik Kafka.

Lagi-lagi langit malam membawa aroma kerinduan pada sosok Ibu bagi Kafka. Cowok itu mengesah, lalu memperbaiki posisi duduknya. Diraihnya kembali gitar yang tadi diletakkan begitu saja di lantai. Kafka memangku gitar tersebut, lalu mulai memetik senarnya. Nada-nada lembut mulai tercipta. Kafka menarik napas sejenak, kemudian bernyanyi. Lagu kesukaan ibunya.

"Bu, kata Bu Guru orang yang meninggal akan menjadi bintang."

"Ibu guru bilang gitu?"

"Iya. Emang benar, ya, Bu?"

"Iya. Orang-orang yang baik jika nanti meninggal akan diberi kado istimewa oleh Tuhan untuk jadi bintang. Agar bisa melihat dan menghibur keluarga yang mereka tinggalkan."

"Kalo gitu, Kafka ingin jadi orang paling baik. Biar bisa dikasih kado jadi bintang paling terang."

Ibu memeluk Kafka dengan sayang dan berkata, "Sampai kapanpun Kafka akan selalu jadi bintang paling terang di hati ibu."

Tanpa sadar air mata Kafka mengalir. Kafka mendongak, berharap air matanya bisa berhenti. Malam itu, langit benar-benar bersih. Tidak ada satu bintang pun. Tapi, Kafka percaya di atas sana ibu sedang melihatnya. Juga mendengar perasaan rindu yang ia kirimkan lewat lagu yang Kafka nyanyikan ini.

Bu, Kafka akan pegang janji itu. Selalu.

***

Kafka tidak ingat kapan akhirnya ia bisa tertidur dan jam berapa saat itu. Yang ia tahu, ia terbangun oleh suara ketukan keras pintu kamarnya. Ada sekitar satu menit Kafka duduk di atas ranjang, mengembalikan seluruh kesadarannya. Cowok itu baru beranjak setelah ketukan itu berubah jadi gedoran.

Saat pintu dibuka, Kafka sempat tercengang melihat sosok yang mengetuk pintu kamarnya itu. Kafka mengucek mata, memastikan ia tidak salah lihat. Tapi, sosok yang berdiri di hadapannya saat ini masih tetap sama.

Shotgun WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang