#20: Pembicaraan Dua Pria

18.3K 1.2K 79
                                    

Kafka melihat jam di dinding. Kurang lima belas menit menuju jam tengah malam. Orang yang ditunggunya belum juga pulang. Sebenarnya mata Kafka sudah berat, tapi ditahannya. Ada yang harus ia selesaikan malam ini. Demi Azel, juga ketenangan batinnya sendiri.

TV menyala tanpa suara. Kafka sama sekali tidak berniat untuk menonton. TV itu hanya salah satu caranya untuk terjaga. Sementara itu, di dapur masih terdengar suara-suara. Bi Surti sepertinya masih membersihkan dapur. Mungkin juga menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak untuk sarapan pagi besok.

Jam berdentang dua belas kali dengan suara nyaring, pertanda pergantian hari. Kafka menguap entah untuk keberapa kalinya. Apa dia selalu pulang selarut ini, tanya Kafka dalam hati.

Saat Kafka sudah menyerah karena matanya benar-benar sudah berat, terdengar suara derum pelan mobil memasuki halaman rumah. Kafka menegakkan punggungnya. Meletakkan tangannya di antara lutut.

Terdengar suara derap langkah mendekat. Saat pintu terbuka, Kafka segera bertanya, "Baru pulang?"

Abytra tersentak saat menyadari ada seseorang yang menyambut kedatangannya. Biasanya yang menyambut Abytra adalah keheningan. Abytra berdehem pelan, menyembunyikan rasa terkejutnya.

"Seperti yang kau lihat," jawab Abytra seraya mengedikkan bahu.

Tak ingin berbasa-basi, Kafka langsung mengatakan tujuannya. "Ada yang ingin aku bicarakan denganmu."

Tapi, Abytra yang sudah terlalu lelah tentu saja menolak. "Besok aja. Aku capek," katanya seraya memijat leher bagian belakang.

"Aku juga capek menunggumu," aku Kafka. "Tapi, kita harus bicara sekarang juga," tandasnya kemudian.

Abytra tersenyum miring, senyum mengejek, tapi Kafka tidak terprovokasi. Dia sudah menunggu berjam-jam, menahan kantuk pula, jadi mereka harus bicara.

"Oke silakan katakan apa yang ingin kau bicarakan itu."

"Siapa wanita itu?"

Kedua alis Abytra berkerut mendengar pertanyaan Kafka. Terlalu luas makna pertanyaan tersebut. Wanita mana yang bocah itu maksud?

Abytra tertawa kecil. "Apa tidak  bisa kau mempersempit pertanyaanmu? Di dunia ini terlalu banyak wanita. Bahkan tujuh persepuluh populasi manusia di dunia ini berjenis kelamin wanita. So, wanita mana yang kau maksud, hm?"

Kafka berdiri. Kedua tangannya terkepal kuat. Ditatapnya Abytra dengan sikap menantang. Kafka sudah tahu, pembicaraan ini tidak akan berjalan dengan baik.

"Memangnya ada berapa wanita yang kau kencani di luar sana?" Tanyanya sinis.

Abytra terdiam sesaat, lalu mengendikan bahu. "Entahlah," katanya. Kemudian, "Aku tidak pernah menghitungnya. Terlalu merepotkan," lanjut Abytra.

Sebenarnya tidak ada wanita lain yang dikencani Abytra selain Maura. Tapi, melihat sikap menantang Kafka, membuat Abytra ingin memprovokasi Kafka. Abytra ingin memberi bocah laki-laki itu pelajaran.

Rahang Kafka mengeras mendengar ucapan Abytra. Dasar berengsek! umpatnya dalam hati. Lihat saja Kafka tidak akan membiarkan Abytra menyakiti Azel.

"Omong-omong dimana kau melihatnya?" tanya Abytra kalem. Pria itu jalan memutari Kafka, lalu menghempaskan tubuh di atas sofa. Tangannya direntangkan dan diletakkan di sandaran kursi. Sementara kaki kanannya diangkat dan diletakkan di atas lutut kaki kiri.

"Kemarin," jawab Kafka. "Di bioskop."

"Oooh ...," Abytra mengangguk-angguk. "Lalu apa yang kau inginkan?"

Kafka berdiri di depan Abytra. Telunjuknya mengarah ke pria itu. "Aku tidak akan membiarkan kau menyakiti Azel."

Abytra terkekeh pelan. Tawa mengejek. "Kalau aku melakukannya, kau bisa apa, hm?"

Kafka maju ke depan. Merenggut kerah baju Abytra. Kafka menatap Abytra penuh amarah. Sementara Abytra tetap bersikap biasa saja. Sengaja mempermainkan mood Kafka.

"Aku akan buat perhitungan denganmu. Aku akan menghabisimu!" Kafka mengucapkan kalimat itu setajam dan sejelas mungkin.

Abytra tertawa. "Kau terlalu kecil untuk memahami ini semua," kata Abytra. Meraih tangan Kafka dan melepaskan renggutan pada kerah kemejanya dengan mudah. Lalu Abytra merapikan bajunya. "Tapi, aku sungguh penasaran bagaimana kau akan menghabisiku."

"Aku serius dengan ucapanku!"

"Aku tidak pernah mengatakan kau sedang bercanda, kan?"

"KAU ....!"

Abytra berdiri. Lalu menepuk pundak Kafka. "Aku capek. Kalau itu yang kau bicarakan, aku anggap semua sudah final. Oke?"

Abytra melangkah pergi. Meninggalkan Kafka yang masih menatap pria itu dengan tatapan benci.

Lihat saja, sekali saja pria itu menyakiti Azel, Kafka tidak akan pernah melepaskannya.

***

Halo semua. Senang rasanya kalian mengikuti cerita ini. Omong-omong ini adalah part terakhir untuk re-publish (ya ... cerita ini memang pernah aku tulis tahun lalu dan berhenti karena ikut BWM Batch 2). Tapi jangan khawatir, mulai Februari  akan aku lanjutkan lagi dengan part baru. Yeiiiii ...

Rencananya aku akan update tiap hari. Namun, tiba-tiba dapat info mengenai deadline revisi naskah MODUS yang akan terbit (deadlinenya kejar-kejaran banget). Jadi, aku harus berat hati mengabarkan kalo SHOTGUN WEDDING update dua kali seminggu, hari SELASA dan JUMAT. Semoga kabar ini tidak membuat kalian kecewa.

Segini aja info dari aku. Semoga kalian tetap menyukainya.

Bubay

Kamal Agusta

Shotgun WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang