Adzan subuh berkumandang dan Abytra sudah terjaga dari tidurnya. Pria itu menoleh ke arah jam dinding, melihat jarum pendek masih berada di antara angka empat dan lima. Abytra menumpukan siku ke dipan, lalu bangun dari posisi tidurnya. Sekarang pria itu duduk dengan tubuh bersandar pada kepala ranjang.
Meski wajah dipenuhi lebam--yang kelihatan makin membiru--Abytra merasa kondisinya sudah jauh lebih baik. Tulang-tulangnya tidak lagi terasa ngilu. Ia sudah bisa menggerakkan anggota tubuhnya dengan normal. Tidak lagi kesakitan.
Lima menit sudah berlalu. Abytra mulai merasa bosan. Kamar tempatnya di rawat benar-benar sepi. Padahal di kamar itu ada tiga ranjang. Tapi hanya satu ranjang yang ditempati, itu pun oleh dirinya. Abytra menghela napas panjang, suasana sepi membuatnya tidak nyaman. Rasanya begitu mencekam.
Tak ingin tenggelam dalam kesunyian, Abytra memutuskan untuk keluar kamar. Berjalan-jalan di rumah sakit di pagi buta bukanlah hal yang menyenangkan, tapi itu lebih baik daripada terkurung dalam kamar dengan atmosfer kesepian yang mencekik. Lagipula berjalan di koridor rumah sakit di pagi buta dulu jadi salah satu rutinitasnya. Bersama Maura, ia sering menjelejahi sudut-sudut rumah sakit. Sekadar membunuh bosan, atau melarikan diri sejenak dari segala rasa tidak mengenakan yang berkecamuk di dada.
Tenyata tanpa sadar, langkah kaki membawa Abytra ke kamar Azel. Pria itu tertegun sesaat. Pintu kamar Azel tertutup rapat. Abytra bertanya-tanya dalam hati apakah Azel masih tertidur atau sudah terjaga. Abytra mendesah. Daripada menerka-nerka, lebih baik ia pastikan saja langsung. Maka pria itu pun mendekati kamar Azel.
Sesampainya di depan pintu kamar Azel, Abytra diam sebentar. Ia mencoba mendengar suara di dalam kamar. Hening. Lalu hati-hati ia mengintip. Di dalam ternyata Azel sendirian. Terbaring dengan mata terpejam. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Kafka.
Abytra merasa ini saat yang tepat untuk melihat kondisi Azel secara langsung. Memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja. Demi kebaikan dirinya juga. Ketenangan hatinya.
Dengan gerakan pelan, agar tidak menimbulkan suara, Abytra mendorong pintu agar membuka. Tidak terlalu lebar, hanya cukup bagi dirinya untuk menyelinap masuk. Lalu dengan hati-hati ia mendekati ranjang Azel. Gadis itu masih tidur. Napasnya terdengar teratur.
Abytra duduk di kursi yang ada di samping ranjang. Lalu ia menatap wajah Azel yang pucat. Tapi ada semu kemerahan di tulang pipi yang menonjol. Ada dorongan untuk menyentuh pipi itu, tapi Abytra mengepalkan tangannya. Ia takut membangunkan gadis itu.
"Hei," bisik Abytra lirih. Sudut bibirnya tertarik, membentuk senyuman tipis. Ia tidak pernah menduga, mengucapkan satu kata sapaan itu membuat perasaannya sedikit membaik.
Abytra terdiam. Satu menit. Dua menit. Hingga sepuluh menit. Pria itu masih tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia hanya melihat Azel. Sesekali menarik napas lalu mengembuskannya.
Hingga akhirnya Abytra menyerah. Membiarkan kata-katanya mengalir begitu saja.
"Aku tidak pernah menyangka akan berada di posisi ini. Posisi yang membuatku terhimpit di keadaan yang sama sekali tidak kukehendaki."
Abytra menarik napas, mengambil jeda. Lalu ia tersenyum sedih.
"Aku benar-benar ingin membencimu. Sangat ingin membencimu. Tapi yang terjadi sebaliknya. Tanpa kusadari aku jatuh hati kepadamu. Aku mati-matian menolak kenyataan itu. Aku tidak ingin perasaan ini. Namun semakin keras aku mencoba, malah aku semakin jauh jatuh cinta. Hingga aku menjadi takut dan memilih melarikan diri darimu."
Abytra menghela napas. Tidak menyangka akhirnya ia mengakui apa yang selama ini mengganjal di hatinya. Rasanya seperti mencabut duri dalam daging. Sakit sekaligus melegakan.
"Aku minta maaf. Untuk segalanya. Maaf karena aku menyakitimu. Maaf karena aku membuatmu terluka."
Karena dorongan perasaan yang meluap begitu saja, Abytra tidak tahu apa yang ia lakukan selanjutnya. Pria itu berdiri. Tangannya menyentuh pipi Azel. Rasanya hangat. Lalu, tiba-tiba Abytra menunduk. Bibirnya mengecup lembut bibir Azel.
Ciuman itu hanya berlangsung dalam waktu yang sangat singkat, kurang dari sepuluh detik. Tapi mampu memberikan kehangatan di hati Abytra.
***
Azel terbangun saat sayup-sayup mendengar suara Abytra. Tapi gadis itu tidak membuka matanya. Ada dorongan dalam hatinya untuk mendengar apa yang ingin Abytra ucapkan. Mungkin ini bisa membuka tabir misteri yang selama ini mengganggu pikirannya.
"Aku benar-benar ingin membencimu. Sangat ingin membencimu. Tapi yang terjadi sebaliknya. Tanpa kusadari aku jatuh hati kepadamu. Aku mati-matian menolak kenyataan itu. Aku tidak ingin perasaan ini. Namun semakin keras aku mencoba, malah aku semakin jauh jatuh cinta. Hingga aku menjadi takut dan memilih melarikan diri darimu."Azel mendengarkan kata-kata Abytra dalam diam. Ia tidak tahu kenapa ia melakukan ini, pura-pura tidur dan membiarkan pria itu terus berbicara. Azel ingin melihat wajah Abytra, melihat ekpresi pria tersebut. Tapi ia terlalu takut membuka matanya. Azel takut ia ketahuan pura-pura tidur.
"Aku minta maaf. Untuk segalanya. Maaf karena aku menyakitimu. Maaf karena aku membuatmu terluka."
Lalu ada keheningan sesaat. Sebelum akhirnya Azel merasakan deru napas yang begitu dekat menerpa kulit wajahnya. Tidak sampai disitu, sesuatu yang lembut dan hangat menyentuh bibir Azel.
Azel tetap diam. Tapi tangannya mengepal di balik selimut. Azel menahan napas. Meski degup jantungnya tiba-tiba memburu.
Lalu terdengar suara langkah menjauh dan pintu yang tertutup. Azel membuka matanya, lalu mengembuskan napas panjang. Azel merasakan wajahnya memanas. Kemudian Azel menyentuh bibir, merasakan kehangatan yang tertinggal di sana.
Azel mendekap telapan tangannya ke dada. Merasakan debaran yang begitu cepat.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Shotgun Wedding
RomanceUPDATE TIAP HARI!!! High Rank #28 (31/03/2018) "Aku ingin membencimu. Tapi, yang terjadi, aku malah semakin jauh jatuh cinta kepadamu." Hanya demi kenikmatan sesaat, Azel kehilangan masa remajanya dan mengorbankan masa depannya. Sekarang Azel harus...