#18: Terhimpit di antara Pilihan Rumit

19.5K 1.2K 84
                                    

Kafka memetik senar gitar. Bergumam mengikuti nada-nada yang ia hasilkan. Sementara itu, Yusuf berbaring tertelungkup di atas ranjang, membolak-balik halaman majalah otomotif.

"Kalo galau balikan aja sono!" tegur Yusuf yang sudah bosan mendengar petikan nada sendu yang dimainkan Kafka dari tadi.

Saat itu mereka sedang di kamar Yusuf. Rencananya tadi mau mengerjakan membuat makalah sebagai tugas kelompok mata pelajaran Sosiologi. Tapi, hujan di luar membuat rasa malas mengambil alih. Masih minggu depan kumpulinnya, begitu alasan mereka hingga akhirnya sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Kafka yang ditegur cuma menyeringai. Lalu mulai mengganti irama petikan. Menjadi lebih nge-beat. Tapi, lima menit berselang, nada-nadanya kembali sendu dan mendayu.

Yusuf menutup majalah dan berdecak. Kemudian ia bangun dan menjatuhkan bokongnya di sebalah Kafka. Tangannya menjitak pelan kepala sohibnya itu.

"Emang nggak bisa balikan lagi?" tanya Yusuf.

Kafka menoleh. Lalu menggeleng. Untuk saat ini, Kafka tidak ingin kembali.

Yusuf menarik napas panjang. Secara garis besar ia sudah tahu kronologi kandasnya hubungan Kafka dengan Audrey. Juga alasan yang menjadi alasan Kafka memilih bubar. Kalaupun ia menjadi Kafka, Yusuf pun berpikir akan melakukan hal yang sama. Sesayang apapun ia pada cewek itu, ia tidak akan mau tinggal kalau hanya untuk disakiti. Hanya manusia bodoh yang mau terluka berkali-kali karena cinta.

"Sini gitarnya," pinta Yusuf, yang segera diserahkan Kafka.

Lalu Yusuf mulai memetik senar gitar. Gerakan jarinya lincah. Irama cepat bernada riang yang menghentak memenuhi seisi kamar. Kafka menarik lutut dan memeluknya. Matanya terpejam menikmati permainan gitar Yusuf.

"Gue jadi kangen nge-band," kata Yusuf setelah mengakhiri pertunjukan solonya. Bibir cowok itu melengkung dan matanya menerawang. Ada kerinduan yang pekat di mata gelap cowok itu.

"Gue juga!" Kakfa menimpali.

Berbicara tentang band, Yusuf dan Kafka dulunya tergabung dalam sebuah band. Band itu terbentuk waktu mereka masih SMP. Ada lima personil. Kafka memegang bass dan Yusuf gitar. Tapi, setelah lulus SMP, hanya Yusuf dan Kafka yang melanjutkan di SMA yang sama. Sementara tiga personil lain terpencar ke sekolah lain.

Awal-awal masuk SMA meraka masih sempat dan ngumpul untuk nge-band bareng. Tapi makin lama, intesitas pertemuan itu semakin kecil. Hingga akhirnya tidak ada sama sekali. Setiap kali diajak untuk ngumpul, kesibukan masing-masing membuat ajakan itu tidak pernah terwujud.

Yusuf mendongak, menatap ke luar jendela. Hujan sudah reda. Awan gelap pun sudah terusir pergi. Yusuf meletakkan gitarnya dan berdiri.

"Nonton, yuk! Katanya ada film bagus yang lagi diputar."

Kafka diam sejenak. Menimbang ajakan itu.

"Emangnya lo ada duit? Bukannya lo lagi masa dihukum?"

Mendengar pertanyaan itu Yusuf memasang cengiran lebar. Tanpa perlu bicara, Kafka tahu arti senyuman itu.

"Iya-iya. Lo boleh pake duit gue. Tapi, yang ini lo harus ganti. Udah cukup gue nanggung uang makan lo di sekolah."

Yusuf merangkul bahu Kafka dan berseru, "beres, bos!"

***

Setalah puas berkeliling mal dan mengisi perut di foodcourt, Abytra mengajak Maura untuk ke gedung bioskop yang berada di lantai paling atas. Maura tentu saja langsung setuju. Setelah Abytra menikahi Azel, mereka sudah jarang melakukan hal ini; berbelanja dan nonton. Abytra menyelipkan jemarinya di sela jari-jari Maura dan menggenggamnya erat. Memastikan wanita itu aman di sisinya.

Sesampainya di gedung bioskop, mereka melihat-lihat poster film yang sedang di putar. Terjadi perdebatan kecil ketika menentukan film. Abytra ingin menonton film action. Sementara itu, Maura bersikukuh ingin menonton film yang lagi booming saat ini, Pengabdi Mantan. Film lawas yang di-remake oleh sutradara anyar Joki Anwir. Seperti biasa, perdebatan selalu dimenangkan oleh Maura.

Abytra meminta Maura untuk duduk di bangku tunggu, sementara ia mengantri untuk membeli tiket masuk. Setelah memakan waktu yang cukup lama--mengingat antrian yang panjang--akhirnya tiket berada di tangan Abytra. Pria itu kembali pada Maura yang masih menunggu di tempat yang ia minta tadi.

"Masih ada setengah jam lagi sebelum film diputar," kata Abytra sambil melihat arlojinya. "Mau beli popcorn dan cola?" tawarnya kemudian.

Maura tersenyum lebar dan mengangguk antusias. Abytra tertawa melihat reaksi Muara, lalu mengulurkan tangan untuk mengacak-acak rambut wanita itu.

Tanpa Abytra dan Muara sadari, ada sepasang mata yang menatap kemesraan mereka itu.

***

Kafka duduk di bangkunya dengan gelisah. Film yang diputar di layar sama sekali tidak bisa mengalihkan pikirannya dari hal yang ia lihat sebelum masuk ke studio. Kafka meremas tangan. lalu mengepalkannya.

Di sebelahnya, Yusuf yang menyadari tingkah aneh Kafka menoleh. Dengan suara berbisik--karena tidak ingin mengganggu penonton yang lain--ia bertanya, "Kenapa?"

Kafka menoleh dengan gerakan terlalu cepat. Lalu, ia menggeleng lemah. "Nggak apa-apa." Ia ikut berbisik.

"Lo nggak suka filmnya?"

Kafka tidak menjawab. Setelah satu menit berlalu, dan Kafka tidak juga bersuara, Yusuf memutuskan kembali memfokuskan pikirannya pada film yang diputar.

Sementara itu, Kafka berusaha untuk tenang. Tidak ingin menggangu Yusuf yang terlihat menikmati fim. Tapi, ia sungguh tidak bisa melupakan apa yang ia lihat tadi.

Siapa wanita itu? Mengapa mereka bermesraan di tempat umum?

Sampai film berakhir dan mereka keluar dari studio, Kafka sama sekali tidak menemukan jawaban atas pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Pertanyaan-pertanyaan itu masih berlompatan di kepalanya, membuatnya pening.

Sial! umpat Kafka dalam hati. Tangan terkepal erat. Seandainya saja tadi Yusuf tidak terburu-buru menariknya masuk ke studio, ia pasti bisa mengetahui siapa wanita yang bermesraan dengan Abytra tersebut.

Seketika Kafka teringat Azel. Hatinya mencelus. Perutnya melilit. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Memberi tahu Azel mengenai apa yang ia lihat hari ini? Atau tetap merahasiakan dan beranggapan apa yang ia lihat tadi sama sekali tidak ada?

Sekali lagi Kafka mengumpat. Memaki nasib sial dirinya yang harus terhimpit di antara dua pilihan yang ia tahu sama-sama akan melukai Azel.

***

Buat teman-teman yang mau baca cerita saya yang sudah TAMAT, bisa baca cerita saya berjudul MODUS di akun beliawritingmarathon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Buat teman-teman yang mau baca cerita saya yang sudah TAMAT, bisa baca cerita saya berjudul MODUS di akun beliawritingmarathon. Btw, cerita ini juga kepilih untuk diterbitkan. Ayo dibaca mumpung part masih lengkap. Dijamin seru, dan bikin baper para sama Gailan dan Ghazi.

^^

Shotgun WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang