#44: Pengakuan (part 1)

14.5K 1.2K 66
                                    

Sejak pembicaraan terakhir, yang membuat Maura mengusir dirinya, Abytra tidak lagi mendapat informasi apa pun dari wanita itu. Maura seakan menutup diri. Kalau pun Abytra bertamu ke rumah Maura, wanita itu hanya mempersilakan Abytra masuk, menawari minum, setelah itu memilih menyibukkan diri. Membuat Abytra bertanya-tanya, sudah sejauh mana Maura menjalankan rencana tersebut.

Pernah suata hari Abytra bertanya, karena sudah tidak tahan lagi dilanda rasa penasaran, tapi Maura hanya menatap, lalu menjawab, "Lebih baik tidak membicarakan ini. Aku lagi tidak ingin berdebat."

Berhari-hari terlewati. Abytra semakin gelisah. Sebab ia sama sekali tidak tahu apa yang sedang direncanakan Maura. Kalau begini caranya, ia tidak akan bisa melakukan apa pun untuk melindungi Azel. Kenyataan itu membuat dirinya semakin merasa bersalah.

Maura pun semakin sibuk. Maura jarang di rumah. Telepon pun sering tidak aktif. Pesan-Whatsapp yang ia kirim hanya dibaca tanpa dibalas.

Hingga suatu pagi Abytra mendapati satu pesan masuk. Dari Muara. Kepala Abytra langsung sakit ketika membaca pesan itu.

Besok. Semua akan selesai.

***

Kali ini Abytra beruntung. Ia berhasil bertemu dengan Maura. Saat ia sampai ke rumah Maura, Abytra mendapati wanita itu di depan pintu, bersiap mau pergi.

"Kita harus bicara," pinta Abytra.

Maura menatap dengan tangan bersidekap. "Tentang besok?"

Abytra mengangguk.

Maura membuka tas, mengambil kunci rumah, lalu memasukkannya ke lubang kunci hingga terdengar bunyi klik, dan mendorong pintu hingga terbuka.

"Masuk," ajak Maura.

Maura masuk lebih dulu dan Abytra mengikuti. Biasanya Maura akan menawari minuman kepada Abytra, tapi kali ini tidak. Wanita itu langsung duduk di sofa yang berada di ruang tengah. Kaki menyilang, tangan terlipat di dada, tatapan terarah kepada Abytra.

"Bicaralah sekarang, aku akan dengarkan." kata Maura.

"Apa kau yakin ingin melakukan itu besok?"

Muara mengangguk mantap. "Semuanya berjalan sesuai rencana. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Abytra terdiam, memejamkan mata.

"Apa kau sungguh tidak ingin menghentikan ini?" tanyanya kemudian.

"Jadi kau datang untuk menghentikanku lagi?" Maura malah balik bertanya.

"Tidak," kata Abytra berbohong.

"Bagus. Karena aku tidak akan berhenti. Masih ada yang perlu kita bicarakan?"

Abytra menggeleng. Ia tahu keputusan Maura sudah bulat. Tidak akan bisa diganggu gugat. Apa pun yang ia katakan tidak akan membuat wanita itu berhenti.

"Besok, kau bisa keluar dari rumah itu. Kita bisa bersama lagi," kata Maura.

"Aku tidak bisa," tolak Abytra. Bagaimana mungkin ia bisa meninggalkan Azel dalam keadaan seperti itu?

"Apa lagi yang akan kau lakukan? Bukankah kita sepakat kau bertahan di sana hanya sampai mendapatkan semua harta Thomas?"

"Aku tidak bisa meninggalkan Azel."

Maura tertawa sinis. "Apa gadis itu akan tetap menerimamu kalau tahu kaulah dalang semua yang akan terjadi?"

"Aku akan mengaku."

Maura mengepalkan tangan. Merasa sangat marah. "Kau benar-benar sudah dibutakan perasaan!"

Abytra berdiri. "Seperti yang kau bilang, akulah dalang semua yang akan terjadi. Dan sudah sepantasnya akulah yang harus bertanggung jawab. Aku harus melindungi Azel. Itu pilihanku."

Setelah mengatkan itu Abytra pergi. Sementara Maura melemparkan tasnya hingga membentur dinding.

Maura menutup wajahnya. Ia menangis karena sangat marah.

***

Azel dari tadi memperhatikan Abytra. Pria itu terlihat sering melamun. Seperti memikirkan sesuatu. Azel mendekati pria itu, menyentuh bahunya dan bertanya, "Ada apa?"

Abytra menatap Azel. Tersenyum tipis.

Azel duduk di sebelah Abytra. Lalu ia kembali berkata, "Kamu bisa menceritakan apa pun yang menganggu pikiranmu kepadaku."

Abytra meraih tangan Azel, lalu menggenggamnya. "Apa kamu yakin?"

Azel mengangguk. Sungguh ia ingin Abytra mau berbagi dengannya.  Agar ia tahu lebih banyak tentang pria itu. Sebab selama ini Azel merasa Abytra masih menyembunyikan banyak hal padanya.

"Menurutmu aku orang yang seperti apa?"

Azel diam sesaat. Pertanyaan yang sulit. "Kamu orang yang baik." Akhirnya itu jawaban Azel.

"Hanya itu?"

Kali ini Azel diam lebih lama. Tapi, Abytra sepertinya sedia untuk menunggu.

"Awalnya, aku menganggap kamu orang yang tidak ingin didekati. Dingin. Membatasi diri. Tapi, makin lama kita bersama, dibalik sikap dinginmu aku menemukan kehangatan yang membuatku nyaman."

"Tapi bagaimana kalau aku bukan orang yang seperti kamu kira?"

Kening Azel mengernyit. "Maksudmu?"

"Jika suatu saat aku membuatmu terluka, apa kamu akan tetap menganggapku hangat dan baik?"

Azel tidak menjawab. Dan Abytra pun sebenarnya juga tidak membutuhkan jawaban Azel. Sebab ia tahu, tidak ada satu orang pun yang akan menganggap baik orang yang sudah melukainya.

"Aku mau mengakui satu hal padamu," kata Abytra setelah menarik napas panjang.

Ada perasaan tidak nyaman yang seketika melanda hati Azel. Tatapan Abytra menyimpan berjuta rasa bersalah yang membuat dada Azel sesak.

"Ini mengenai alasan aku menikahimu."

Jantung Azel berdetak lebih cepat. Tapi ia masih tetap diam. Ia masih menunggu apa yang ingin Abytra ucapkan selanjutnya.

"Aku menikahimu untuk balas dendam."

***

Shotgun WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang