#36: Konfrontasi (Part 1)

13.8K 1.1K 23
                                    

Beberapa waktu lalu Azel merasa cukup senang karena berhasil menjalin komunikasi dan interaksi dengan Abytra. Memang, apa yang mereka lakukan itu belum bisa dikatakan cukup untuk standar pasangan suami-istri. Itu sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelum-sebelumnya.

Namun, entah kenapa dua hari ini Azel merasa hubungannya  dengan Abytra kembali ke awal-awal pernikahan. Pria itu pulang larut malam. Enggan berbicara dengannya. Juga terkesan menghindar. Azel bertanya-tanya dalam hati kesalahan apa yang sudah ia lakukan sampai pria itu kembali bersikap dingin dan tidak mengacuhkannya. Seolah-olah ia menganggap Azel tidak ada.

Azel melirik jam di dinding, sudah lewat tengah malam. Lalu gadis itu melemparkan kembali pandangan pada layar tv. Sebenarnya Azel tidak terlalu tertarik dengan tayangan di tv saat ini. Tapi, ia berusaha tetap menonton. Ia butuh sesuatu yang membuatnya tetap terjaga selagi menunggu Abytra pulang.

"Non Azel belum tidur? Ini sudah larut malam," tegur Bi Surti.

"Saya nunggu suami saya, Bi," jawab Azel.

"Lebih baik Non Azel istirahat sekarang. Tidur larut malam tidak baik buat ibu yang sedang hamil."

Azel menyentuh perutnya, lalu mendesah. Benar juga. Ia harus tetap memprioritaskan kandungannya. Akhirnya Azel menyerah. Gadis itu mematikan tv, lalu bangkit dari posisi duduknya. Kemudian ia menaiki anak tangga menuju kamar.

***

"Kamu mau nginap lagi?"

Abytra yang sedang rebahan di sofa mengangguk. Lalu pria itu meletakkan tangan kanannya di dahi dan memejamkan mata. Sudah dua hari ia tidak pulang. Sengaja. Ia tidak ingin bertemu Azel.

Mata Abytra terbuka ketika ia merasakan tepukan di kakinya. Abytra mendesah, lalu menatap Maura yang masih berdiri di samping sofa. Wanita itu sudah mengenakan baju tidur dan rambutnya dicepol memperlihatkan leher jenjang yang mulus.

Abytra menarik kaki dan menurunkannya dari sofa. Sekarang pria itu duduk dan menepuk sofa di sampingnya. Meminta Maura untuk duduk. Maura menurut.

"Aku sedang kacau," kata Abytra jujur. Ia tidak perlu berbohong sebab Maura sudah melihat betapa kacau dirinya beberapa hari belakangan ini.

"Aku tahu," respons Maura singkat. "Bukan hanya kacau, tapi juga menyedihkan."

Abytra tertawa masam. "Terima kasih untuk pujiannya."

Maura mendesah panjang. Lalu ia menatap Abytra sengit. "Tapi apa kamu tahu apa yang lebih menyedihkan dari keadaanmu yang kacau ini?"

Abytra tidak menjawab, tapi matanya menatap Maura lekat.

"Aku," bisik Maura dengan suara lirih. Lalu cewek itu terkekeh, menertawakan dirinya sendiri. "Akulah yang paling menyedihkan. Aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu akhir-akhir ini. Aku menunggumu untuk berbagi. Seperti biasanya. Tapi, kamu tidak melakukan itu. Aku seperti pihak yang tidak lagi dipercaya."

Kata-kata Maura yang diucapkan dengan suara lirih itu seperti pisau yang menusuk langsung ke jantung Abytra.

"Dan yang lebih menyedihkan ... aku masih tetap menunggumu sampai detik ini, saat aku mengatakan semua ini. Tapi, sepertinya kamu tetap tidak ingin membaginya, kan?"

Abytra meraih tangan Maura, tapi Maura menariknya. Wanita itu juga menjaga jarak dengan Abytra.

"Apa kau sudah tidak menganggapku dipihak yang sama denganmu?"

"Bukan begitu," Abytra menyangkal.

"Lalu, kenapa kamu masih menyembunyikannya?"

"Aku hanya tidak tahu harus memulainya dari mana."

Maura melipat tangan di dada. Mata wanita itu menatap Abytra dengan intens. "Kalau begitu, aku akan membantunya."

Abytra membalas tatapan Maura. Lewat matanya, ia meminta Maura untuk berhenti mengonfrontasinya seperti ini. Keadaannya sudah buruk. Dan ia tidak ingin memperburuknya lagi.

"Kamu bilang terlalu sulit untuk memulai ceritanya. Jadi aku akan membantumu dengan pertanyaan yang cukup kamu jawab."

"Maura, kumohon jangan seperti ini," melas Abytra. Ternyata sinyal yang ia kirimkan lewat tatapan mata tidak diterima oleh wanita itu.

"Aku capek untuk terus menunggu dan melihatmu kacau seperti ini Abytra Ramadhan!"

"Tapi sekarang bukan waktu yang tepat."

"Tidak pernah ada waktu yang tepat."

Abytra mengusap wajah. Merasa sangat letih. Baru kali ini ia lihat Maura bersikeras seperti ini.

"Kenapa?"

Abytra mengatupkan rahangnya. Ia melarikan pandangannya ke tempat lain, tak ingin melihat Muara. Sebab ia tahu, malam ini akan ada perbedaan pada hubungan mereka.

Abytra tidak mengakui ini. Tapi, inilah kebenarannya. Setelah bertahun-tahun, akhirnya muncul seseorang yang berada di tengah-tengah mereka. Seseorang yang tidak pernah Abytra duga dan harapkan. Seseorang yang semulanya ingin ia jadikan pelampiasan dendam.

"Karena aku takut," Abytra memejamkan mata ketika mengatakannya.

"Takut?" Maura tertawa sinis. "Kamu takut Thomas mengetahui tujuan kita sebenarnya?"

Abytra memijat pelipisnya. Kemudian pria itu menggeleng. Ia sama sekali tidak pernah takut kepada Thomas.

"Lalu apa yang kamu takutkan?"

"Perasaanku" jawab Abytra lirih. "Aku takut kalau terlalu lama perasaan ini akan mengkhianatiku."

Kening Maura terlipat. Sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dimaksud Abytra.

"Jelaskan apa maksudmu," pinta Maura tegas dan penuh tuntutan.

"Maura kumohon, hentikan semua ini." Abytra masih memohon. Sungguh ia tidak ingin melukai Maura dengan kenyataan yang dituntut wanita itu. Tapi, Maura tetap pada pendiriannya. Ia ingin Abytra menceritakan apa yang menganggu pria itu akhir-akhir ini.

"Aku akan berhenti kalau kamu sudah menceritakan semuanya."

Abytra menatap Maura putus asa. Akhirnya ia menghela napas panjang, memejamkan mata, lalu berkata "Aku takut kalau terlalu lama aku akan jatuh cinta."

"Ja-jatuh cinta?" Maura terkejut. Matanya melotot tidak percaya. "Ap-apa maksudmu?"

"Aku sudah mengingatkanmu untuk menghentikan pembicaraan ini sejak tadi."

Maura memejamkan mata. Lalu menggeleng. "Gadis itu, kan?" Kepalang tanggung. Maura tidak ingin berhenti. Ia mau tahu lebih banyak lagi.

Abytra mendesah kemudian mengangguk. Lalu, tawa Maura pecah. Tawa yang sangat menusuk di telinga Abytra. Tawa yang mengandung luka.

Sejurus kemudian Maura berdiri, tapi Abytra menyentuh tangannya. "Aku minta maaf."

Tapi Maura hanya menatap Abytra dengan pedih. Wanita itu melepaskan tangan Abytra yang mencengkram pergelangan tangannya.

"Ini menyakitkan."

Maura berhasil melepaskan tangan Abytra. Lalu meninggalkan pria itu seorang diri.

Sial!  maki Abytra. Sekarang satu masalah lagi memenuhi pikirannya. Ingin rasanya Abytra meledakkan saja kepalanya agar tidak perlu lagi memikirkan ini semua.

Ah, sial!

***

Shotgun WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang