#21: Permintaan Maaf

17.9K 1.1K 29
                                    

"Mulai sekarang kita harus lebih hati-hati," kata Abytra pada Maura. Saat itu mereka sedang sarapan di dapur mini rumah Maura.

Maura meletakkan sendoknya, dan menoleh kepada Abytra. "Hati-hati terhadap siapa? Apa ada Thomas mulai mencurigaimu?"

Abytra menggeleng lemah.

"Lalu siapa?" kejar Maura. Kini ia mendorong piring yang menyisakan pancake di atasnya. Selera makan Maura sudah lenyap. "Apa seseorang di perusahaan Thomas?"

Sekali lagi Abytra menggeleng. Kini sikunya bertumpu di atas meja dan pria itu bertopang dagu. "Ini tidak ada sangkut pautnya dengan perusahaan. Tapi, tetap saja, kalau kita gegabah, rencana kita bisa hancur berantakan."

Maura mengerang pelan. Sebal karena ucapan Abytra berbelit, membuat kepalanya jadi pusing.

"Oke, siapa orangnya?" tanya Maura gemas.

"Kafka. Anak laki-laki Thomas. Kemarin dia melihat kita di bioskop."

Lalu meluncurlah cerita Abytra tentang Kafka. Bagaimana cowok remaja itu mengonfrontasi dan mengancam dirinya. Memang kemarin Abytra menganggap enteng Kafka. Tapi, setelah dipikirkan, tetap saja Kafka sebuah ancaman yang bisa menjegal dirinya untuk membalas dendam.

"Kau takut dengan anak bau kencur seperti itu?" Maura tidak berhasil menyembunyikan tawa gelinya. Lalu, jemari lentik Maura--yang kukunya berkuteks merah muda--mengait pada pegangan cangkir teh miliknya. Maura mengangkat cangkir tehnya di bawah hidung, menghirup aromanya sekejap, sebelum menyeruputnya dengan mata terpejam, terlihat begitu menikmatinya.

"Kita tidak pernah tahu akibat apa yang bisa disebabkan oleh bocah kecil itu," kata Abytra sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Lalu, "Kau tahu, semut yang kecil saja bisa mengigitmu kalau tersakiti. Apalagi bocah ini. Dia pasti tidak akan diam kalau tahu tujuan kita. Dan aki tidak ingin bocah itu jadi penghalang yang dapat menghancurkan rencana kita yang sudah sejauh ini."

Maura mengangguk pelan. Setuju dengan ucapan Abytra. Kemudian, ia bertanya, "Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?"

Abytra melipat tangan di depan dada. "Meminimalisir kebersamaan kita di depan umum. Kita beruntung kemarin Kafka yang memergoki kita. Kalau itu Thomas, aku yakin saat ini rencana kita pasti sudah hancur lembur."

"Jadi tidak ada lagi agenda nonton, jalan-jalan di mal, dan sarapan dan makan di luar?"

Abytra menatap Maura dengan padangan penuh pemohonan maaf. Maura menarik napas panjang, lalu mengesah.

"Baiklah, aku mengerti." Lalu, Muara mendorong kursi hingga menimbulkan bunyi derit. Maura berjalan memutari meja makan, lalu berdiri di belakang Abytra. Maura mengalungkan tangannya di leher Abytra, lalu meletakkan dagunya di bahu Abytra. "Tapi, waktu untuk kita berdua tidak akan berkurang, kan?" bisiknya manja.

Abytra melepaskan tangan Maura dari lehernya, lalu memutar tubuh hingga kini berhadapan dengan Muara. Abytra menangkupkan kedua tangannya di pipi Maura dan tersenyum lebar.

"Tentu saja tidak. Kita bisa terus berduaan di sini," jawabnya. Membuat senyum merekah di bibir Maura.

Lalu, Maura memajukan wajahnya. Melabuhkan bibirnya di bibir Abytra. Tanpa ragu, Abytra menyambutnya. Maura merengkuh wajah Abytra semakin kuat, seolah tidak ingin ciuman itu berakhir dengan cepat. Abytra mengerti, dan semakin melumat bibir ranum Maura.

***

Azel tidak pernah menyangka pagi itu Papa menemuinya di kamar. Saat itu Azel sedang duduk di depan jendela, merajut sambil menikmati cahaya matahari yang sedang naik. Seseorang mengetuk pintu kamarnya. Saat Azel membukanya, ia mendapati Papa berdiri di depan pintu.

Shotgun WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang