#32: Tentang Kafka

14.3K 1.1K 39
                                    

Sore itu Azel bersantai di ruang tengah. Ia duduk di sofa, menonton televisi sambil mengudap tomat segar, mengikuti saran dokter Rita. Tidak hanya itu, ia juga tidak merajut seharian ini, memilih meluangkan waktu sebanyak mungkin untuk beristirahat.

"Gimana hasilnya kemarin?" tanya Kafka yang duduk lesehan tak jauh darinya. Cowok itu seperti biasa memangku gitarnya.

Azel mengunyah tomat di dalam mulut lalu menelannya. Setelah mulutnya kosong baru ia menjawab. "Baik. Cuma tekanan darah gue rendah. Makanya gue makan ini," Azel mengambil satu potong tomat lagi dan menunjukkannya kepada Kafka, "dokter Rita bilang bagus buat naikin tekanan darah."

"Syukurlah." Kafka tersenyum. Lalu cowok itu kembali memetik senar gitarnya. Petikan asal mengikuti suasana hati.

Lalu tiba-tiba terdengar suara riuh dari depan. Disusul langkah-langkah kaki. Tak lama kemudian Mama muncul bersama Papa. Mereka berbicara dengan nada tinggi.

"Kamu yang memulai. Kamu yang menghancurkan semua ini sampai tidak ada yang tersisa sedikit pun!" teriak Mama dengan suata bergetar karena emosi. Wajah Mama sampai memerah dan rahangnya menegang.

"Kamu pikir ini hanya salahku?" Papa tertawa. "Kamu cuma bisa menyalahkan. Padahal kamu tahu penyebab semua ini terjadi karena kamu sendiri. Seandainya kamu bisa sedikit peduli kepadaku, semuanya tidak akan pernah terjadi!"

Sudah bertahun-tahun, ternyata pertengkaran itu masih terjadi. Penyebabnya sama. Perselingkuhan Papa. Mama masih menyalahkan Papa karena perselingkuhan itu.

"Kamu cuma mencari alasan. Sekarang lihat, kamu bahkan membawa anak hasil perselingkuhanmu ke rumah ini." Mama menatap Kafka dengan benci.

Kafka menunduk. Tak berani melihat. Setiap kali pertengkaran, namanya pasti akan dibawa-bawa. Kafka sudah terbiasa. Tapi tetap saja rasanya menyakitkan.

Azel yang mendengar itu, berusaha untuk menyela. "Maaa ...," katanya.

Mama menoleh kepada Azel. Lalu mereka bertatapan. Saat itu Azel bisa melihat mata mamanya berkaca-kaca.

"Seharusnya kamu ikut mati saja dengan ibumu itu!" Mama memaki.

"Jaga ucapanmu!" sentak Papa.

Sementara Azel tak bisa berkata-kata. Selama ini ia tahu Mama membenci Kafka--sama seperti dirinya dulu. Tapi, ia tidak pernah mendengarkan Mama melontarkan makian sekasar itu, semenyakitkan itu.

"Tapi itu kenyataannya. Mereka pantas membusuk di neraka karena sudah menghancurkan hidupku dan Azel."

"Mama cukup!" teriak Azel.

Tapi tidak teriakan Azel yang menghentikan Mama. Tapi sebuah tangan yang menampar pipi Mama. Tangan milik Papa. Azel yang menyaksikan itu terkesiap. Matanya membelalak dan tangan menutup mulut.

Mama terdiam sesaat, sebelum tangisnya pecah. Sementara Papa berdiri dengan tangan gemetar. Mungkin ia tidak menyangka sudah melakukan kekerasan terhadap istrinya.

Mama memegang pipinya, lalu pergi menaiki tangga, menuju kamar. Azel pun menyusul. Saat ini Mama pasti butuh seseorang.

Sebelum menaiki tangga, Azel sempat menoleh ke arah Papa. Mata mereka bertemu. Azel bisa melihat penyesalan dan permintaan maaf di sana. Tapi Azel tidak mengatakan apa-apa. Karena ia sendiri tidak tahu harus berkata apa.

Sepeninggal Azel dan Mama, Kafka berdiri. Langkahnya lemah. Saat ia melewati Papa, pria itu memanggilnya.

"Aku nggak apa-apa," kata Kafka lalu kembali melanjutkan langkahnya. Saat ini tempat yang ingin ia tuju adalah kamarnya. Satu-satunya tempat di rumah ini yang bisa menyembunyikan dirinya.

***

Sejak dulu hubungan Kafka dengan Papa memang tidak dekat. Bukan karena mereka ada masalah, sama sekali tidak, hanya saja Kafka sudah terbiasa hidup tanpa kehadiran Papanya. Itu karena semasa Bunda masih ada, ia hanya bertemu sekali seminggu dengan pria yang ia panggil Papa itu. Ya, Papa hanya mengunjungi mereka sekali seminggu. Kafka tidak pernah mempermasalahkan itu. Baginya, selama Bunda ada di sisinya, semua sudah lebih dari cukup. Lagi pula Bunda selalu bilang Papa sibuk dengan kerjaan dan sering tidak pulang karena harus keluar kota. Kafka kecil menelan alasan itu bulat-bulat. 

Setelah Bunda pergi, Papa mengajak Kafka mengikutinya, pindah ke rumah yang sangat asing baginya. Di sanalah untuk pertama kalinya ia bertemu Mama yang menatapnya penuh benci. Juga Azel. Kafka menatap Papa, memohon penjelasan. Saat itu Papa cuma mangatakan bahwa mulai saat itu Kafka akan tinggal di sini. Bersama dirinya, Mama dan juga Azel.

Saat itulah pemahaman datang kepada Kafka. Bahwa selain mereka, Papa mempunyai keluarga yang lain. Bahwa mereka mungkin hanyalah pelarian Papa atas kehidupan rumah tangganya yang tidak sempurna. Dengan kata lain, mereka adalah rahasia yang disembunyikan Papa selama ini dari kehidupannya yang sebenarnya. Mereka adalah borok yang Papa ciptakan.

Akhirnya Kafka tahu apa yang membuat Bunda menangis setiap malam. Itu semua karena Bunda jatuh cinta. Sayangnya Bunda jatuh cinta kepada pria yang tidak seharusnya ia cintai, pria yang sudah menyandang status sebagai suami wanita lain. Cinta yang membuat Bunda hidup dalam persembunyian.

Dan Kafka adalah buah dari cinta yang dirahasiakan itu.

***

Halo semuanya. Maaf up-nya telat. Sebab ini kondisi badan sedang tidak fit.

Oh iya aku mau promo, nih. Siapa tahu di sini ada pembaca yang suka baca kisah teenlit roman komedi.

 Siapa tahu di sini ada pembaca yang suka baca kisah teenlit roman komedi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yuk baca karyaku berjudul MODUS di akun beliawritingmarathon. Udah komplit lo alias tamat. Jadi bacanya bisa langsung kebut. Oh iya, ini juga nanti bakal diterbitin. Belum pasti sih tanggal terbitnya. Jadi, mumpung masih gratis, yuk diserbu. Hihihi ...

Oke segini dulu deh.

Sampai jumpa.

Bubay

Kamal Agusta

Shotgun WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang