#35: Mengisi Pikiran

15K 1.2K 30
                                    

Siang itu Abytra sedang berada di dalam kantor. Pria itu duduk di kursi dengan meja dipenuh beberapa berkas yang harus dipelajari.

Ruangan itu terkesan nyaman. Salah satu sisi terdapat rak buku yang di penuhi beberapa buku. Ada pohon palem di sudut ruangan, sofa empuk berwarna cokelat kayu lengkap dengan coffee table, juga dua buah lemari tempat menyimpan berkas-berkas kerjaan. Satu sisi dipasang jendela persegi yang lebar dan ditutupi tirai berwarna kuning gading. AC yang berfungsi dengan baik membuat atmosfer ruangan terasa sejuk.

Abytra mengetuk-ngetuk ujung ballpoint pada permukaan meja hitam dari bahan kayu eboni di hadapannya. Sejak tadi ia berusaha mencerna isi berkas di hadapannya itu, tapi tidak ada satu kata pun berhasil otaknya pahami. Seakan otaknya mengalami kelumpuhan. Dan itu membuat kening lebar dan hidung mancung pria itu mengerut karena kesal.

Abytra melepaskan ballpoint dari tangannya dan membiarkan beda itu menggelinding di atas permukaan meja. Lalu, ia mengusap wajahnya dan mendesah. Sial! makinya. Di saat seperti ini kenapa ia tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaan? Kenapa ia masih memikirkan gadis belasan tahun itu? Dan yang menyedihkan kenapa ia sering memaki dirinya sendiri?

Sial! Lihat, kan, sekali lagi ia memaki dirinya sendiri tanpa sadar.

Dering telepon memecah keheningan--yang sejak tadi hanya diisi suara detik jam dan deru pendingin ruangan. Abytra memindahkan tangan dari wajahnya dan melirik telepon kabel itu dengan sebal. Dengan tangan kiri, pria itu meraih gagang telepon dan menempelkannya di telinga.

"Ya?!" bentak Abytra, yang sama sekali tidak bermaksud begitu. Suasana hati yang buruk sungguh bencana. Membuat semuanya menjadi terasa buruk juga.

Di ujung telepon sekertarisnya berbicara dengan nada lirih dan pelan. Takut kena semprot lagi.

"Ya. Tolong di-schedule ulang!" sekali lagi Abytra berbicara dengan nada tinggi dan nyaring. Abytra memejamkan mata dan sekali lagi memaki karena hari ini ia tidak bisa menempatkan intonasi yang pas saat berbicara. Pasti sudah ada yang salah dengan otaknya. Sial!

Setelah tidak ada lagi yang ingin disampaikan sekertarisnya, Abytra meletakkan gagang telepon ke tempatnya dengan kesal. Pria itu memundurkan punggung hingga menyentuh sandaran kursi. Lalu pria itu mendongan dan mengembuskan napas dengan kesal.

Karena merasa percuma membaca berkas-berkas yang tidak bisa dicerna otaknya, akhirnya Abytra memutuskan untuk keluar. Lebih baik ia keluar. Mungkin otaknya ini butuh sirkulasi udara yang segar. Agar keberadaan gadis itu menyingkir dari pikirannya.

Abytra membuka laci, lalu menyambar kunci mobilnya, dan keluar dari ruangan tersebut.

Sebelum keluar ia sempat mengirim satu pesan kepada kekasihnya.

Aku jmpt skrg. Kita mkn siang brg.

***

Azel mau turun ke bawah tapi batal ketika melihat mamanya keluar dari kamar. Ia malah menghampiri wanita yang terlihat pucat tersebut. Gadis itu menatap mamanya dengan pandangan khawatir.

"Mama istirahat aja di dalam. Wajah Mama masih pucat," kata Azel sambil menggandeng tangan mamanya.

Mama menoleh dan tersenyum tipis. "Mama bosen di kamar terus." Memang sejak pertengkaran itu kondisi Mama tidak baik. Sudah beberapa hari ia mendekam di kamar.

"Ya udah. Mama mau kemana? Biar Azel bantu."

Mama menunjuk ruang tengah dengan telunjuknya. Azel mengangguk dan membantu Mama menuruni anak tangga. Sesampainya di ruang tengah, Azel mendudukkan Mama di sofa.

"Makasih, Sayang," ucap Mama dengan suara parau.

Azel mengangguk. "Mama mau makan? Kalo iya biar Azel minta Bi Surti nyiapin."

Mama menggeleng. "Mama nggak mau apa-apa."

Azel mendesah. "Tapi Mama belum makan sejak tadi pagi."

Mama diam. Tatapannya malah fokus pada wajah Azel lalu turun ke perut yang membuncit. Seketika Mama menutup wajahnya dan terisak. Bahu wanita itu terguncang.

Azel mendekat, lalu merengkuh Mama ke dalam pelukan. Ditepuknya punggung Mama dengan ritme pelan. Berharap tepukan itu bisa mengalirkan kekuatan yang dapat menenangkan Mama.

"Maafkan Mama, ya, Zel. Mama tahu apa yang terjadi kepadamu ini adalah kesalahan kami. Hubungan Mama dan Papa yang berantakan pasti membuatmu tertekan di rumah ini. Mama juga terlalu sibuk menangisi sakit hati Mama sampai lupa memperhatikan kamu."

"Semua udah terjadi, Ma. Ini bukan kesalahan Mama atau Papa. Ini kesalahan Azel sendiri. Azel yang nggak bisa jaga diri. Seharusnya Azel yang minta maaf karena kehamilan ini pasti membuat Mama dan Papa kecewa."

Mama mengangkat wajahnya dan Azel mengusap air mata yang mengalir di pipi wanita di hadapannya itu.

"Aku nggak apa-apa. Jadi, Mama nggak perlu merasa bersalah. Jadi, Mama jangan nangis lagi. Nanti Mama tambah sakit."

Mama mengangguk, lalu kembali memeluk Azel.

"Kenapa kita harus mengalami hal yang sama? Sama-sama tersakiti karena cinta."

Azel tidak langsung menjawab. Ia pun tidak tahu kenapa ia dan Mama harus mengalami ini semua. Dulu Azel selalu bertanya, apa dosa yang ia lakukan sampai Tuhan menghukumnya seperti ini. Tapi, sekarang entah bagaimana ia tidak pernah bertanya seperti itu. Ia berusaha berpikir positif. Semua kejadian ini pasti ada hikmahnya.

Dan Azel selalu percaya Tuhan sudah menyiapkan kebahagiaan baginya dibalik segala masalah yang dihadapinya saat ini.

***

Maura menatap Abytra yang sedang melamun dan mendesah keras. Desahan itu berhasil menarik Abytra dari lamunannya.

"Jadi, kamu masih tidak ingin membagi apa pun yang saat ini mengganggu pikiranmu?"

"Aku--"

Maura memotong dengan tawanya yang skeptis. "Berhenti membohongi dirimu sendiri, Abytra Ramadhan. Sejak tadi kamu lebih banyak melamun daripada menghabiskan makanan di piringmu."

Abytra menunduk, menatap nasi di piringnya yang masih tersisa banyak. Abytra menghela napas, lalu meletakkan sendok. Selera makannya sudah tidak ada. Perutnya juga tidak lapar. Akhirnya Abytra meraih gelas dan meneguk air putih itu sampai habis. Abytra menyudahi makannya.

"Jadi, apa yang menganggu pikiranmu sejak tadi, hm?" desak Maura lagi. Sudah cukup kesabarannya untuk menunggu. Ia kepengin tahu apa yang sedang dipikirkan Abytra saat ini.

"Kalau kita mengubah rencana bagaimana?" tanya Abytra.

Kening Maura berkerut. Lalu, wanita itu melipat tangan di atas meja, dan memajukan tubuhnya. "Apa maksudmu?"

"Aku ingin kita mengambil alih perusahaan Thomas secepatnya. Tanpa perlu menundanya lagi."

***

Shotgun WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang