#38: Kata Maaf (Part 2)

15.8K 1.2K 104
                                    

"Kondisinya baik-baik saja."

Kafka bernapas lega mendengar ucapan dokter yang tadi menangani Azel. Ketegangan yang tadi menguasainya sedikit mencair.

"Kandungannya, dok?"

Dokter berkacamata persegi itu tersenyum menenangkan. "Semuanya baik. Tidak ada yang dikhawatirkan. Saya sudah memberinya obat untuk penghilang rasa sakit."

"Makasih, dok."

Dokter itu menatap Kafka. "Anda suaminya?" Ada rasa sungkan yang terdengar jelas saat ia bertanya.

Kafka menggeleng. "Saya adiknya," terangnya kemudian.

Dokter itu mengangguk. Rasa penasarannya mungkin sudah berkurang. Lalu ia mohon permisi karena masih harus menangani pasien yang lain.

Sepeninggal dokter tersebut, Kafka masuk ke kamar inap Azel. Kamar inap kelas atas yang hanya dihuni oleh satu pasien. Untunglah tadi Abytra ikut mengantar. Setidaknya pria itu bisa mengurus administrasi rumah sakit dan menempatkan Azel ditempat yang terbaik.

Bicara tentang Abytra, Kafka sudah memberi tahu perawat. Tentu saja ia hanya bilang melihat orang terluka, membutuhkan perawatan, lalu  memberitahukan lokasinya. Perawat pun segera menuju ke tempat yang Kafka maksud. Dan bagaimana akhirnya nasib Abytra, untuk saat ini Kafka tidak peduli. Abytra pantas menerima itu semua.

Saat Kafka masuk, ia menemukan Azel tergolek di ranjang rumah sakit. Infus terpasang di lengan gadis itu. Kafka mengembuskan napas panjang, lalu berjalan mendekat. Sesampainya di ranjang, cowok itu menarik kursi di dekatnya dan menempatkannya di samping Azel. Kemudian ia duduk di sana.

Kafka meraih tangan kanan Azel. Lalu menggenggamnya erat. Terasa hangat.

"Gue akan jagain lo," bisiknya lembut.

***

Hal pertama kali yang dilihat Abytra ketika tersadar adalah cahaya lampu yang menyorot tajam penglihatannya. Pria itu langsung mengerang lirih, lalu memejamkan matanya kembali. Setelah merasa cukup baik, pria itu membuka matanya pelan-pelan, agar cahaya tidak langsung berhamburan masuk ke retina dan membuat matanya pedih.

Abytra melihat langit-langit putih yang terdapat bercak-bercak berwarna karat, lampu pijar yang menyala, dan jam dinding berbentuk lingkaran berwarna biru tua. Lalu ia menoleh ke kiri, hati-hati karena lehernya terasa sakit, dan mendapati tirai-tirai berwarna biru lembut terpasang mengelilinginya. Aroma pahit dan memualkan, tercium oleh hidungnya. Abytra tidak perlu otak yang jenius untuk tahu di mana dirinya berada saat ini. Di salah satu ranjang rumah sakit.

Abytra menghela napas. Bersyukur dirinya masih hidup. Ia pikir hidupnya akan berakhir di tangan cowok berumur belasan tahun. Dada Abytra masih sakit, tubuhnya terasa remuk, tapi semua sudah jauh lebih baik daripada saat dihajar Kafka.

Sebenarnya kondisi Abytra baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pria itu sama sekali tidak mengalami patah tulang apa pun, jantungnya tidak meledak, dan paru-parunya juga tidak menyusut. Jadi tidak ada alasan bagi pria itu untuk mati di tangan Kafka. Sebab lebam dan luka pada wajah dan beberapa bagian tubuh akibat pukulan Kafka tidak akan sampai membuat nyawa Abytra melayang. Bahkan Abytra pun tidak perlu khawatir harus melakukan operasi plastik ke Korea untuk memperbaiki wajahnya yang terluka dan memar. Dalam waktu seminggu, setelah diberi obat, pasti lukanya akan mengering, memarnya akan hilang, dan wajahnya akan kembali seperti semula.

Abytra memejamkan mata lagi, tapi hanya sesaat, karena kehadiran seseorang membuatnya membuka mata lagi.

"Syukurlah lo masih hidup," kata Kafka dengan wajah datar.

Abytra tersenyum kecut, lalu meringis saat merasakan sakit di sudut bibirnya yang robek.

"Azel gimana?" tanyanya.

Kafka tidak menjawab. Ia hanya menatap pria yang tergolek di hadapannya itu dengan tajam.

"Azel gimana?" ulang Abytra. Sungguh ia ingin tahu kondisi Azel. Tapi, Kafka masih tetap tak bersuara.

Abytra mendesah. Lalu ia menumpukan sikunya di dipan, berusaha untuk duduk. Ia sama sekali tidak peduli rasa sakit yang seketika menyerang. Ia hanya ingin melihat Azel dan memastikan kondisi gadis itu. Tapi, sentuhan pada bahunya membuat Abytra mendongak. Ternyata Kafka yang menahan Abytra untuk bergerak.

"Kata perawat lo nggak boleh banyak gerak," bisik Kafka tajam.

"Aku mau lihat Azel. Aku mau tahu kondisinya," Abytra berusaha menyingkirkan tangan Kafka pada bahunya. Tapi tentu saja kondisinya yang lemah tidak bisa menandingi tenaga Kafka.

Kafka menghela napas panjang. "Dia baik. Sekarang sedang istirahat."

Abytra bergeming. Matanya menyorot kepada Kafka, memastikan cowok itu berkata jujur.

"Mending lo istirahat. Biar sembuh dan gue bisa ngehajar lo lagi."

Abytra menurut. Ia kembali rebahan. Lalu ia mengerjap ketika menyadari sesuatu yang aneh di sini.

"Kenapa kamu ke sini?"

"Mastiin lo masih hidup atau udah mati."

"Aku tidak akan mati oleh bocah sepertimu."

Kafka tertawa sinis. "Lain kali, kalo lo nyakitin Azel lagi, gue pasti bakal buat lo mati."

Setelah mengatakan itu, Kafka berbalik pergi. Meninggalkan Abytra. Sementara Abytra kembali memandang langit-langit dan lampu yang menyala di atasnya. Ia mengembuskan napas lega karena Azel baik-baik saja.

Setidaknya ia masih punya kesempatan untuk meminta maaf secara langsung kepada Azel.

***

"Zel, lo bisa dengar gue?"

Azel menoleh ke asal suara dan mendapati Kafka menatapnya dengan khawatir. Lalu saat ia mengangguk, isyarat kalau dirinya bisa mendengar cowok itu, Kafka mengembuskan napas lega.

"Lo di rumah sakit," terang Kafka saat melihat Azel melihat sekitar dengan wajah kebingungan. Lalu gadis itu tersentak dan meraba perutnya.

"Kandungan lo nggak apa-apa. Lo nggak perlu khawatir."

Cemas yang menggelayut di wajah Azel luntur seketika. Syukurlah, bisiknya dalam hati. Sungguh ia merasa sangat lega kandungannya baik-baik saja. Ia tidak sanggup membanyangkan kalau janin dalam rahimnya itu sampai keguguran.

Lalu, Azel menoleh ke arah Kafka. Dengan suara lirih ia bertanya, "Abytra mana?"

Kafka diam. Tidak langsung menjawab pertanyaan Azel. Suasana mendadak jadi hening. Diamnya Kafka membuat Azel mengernyit bingung.

"Mana Abytra?"

Kafka menghela napas berat. Tidak habis pikir dengan Azel. Jelas-jelas pria itu yang membuatnya masuk rumah sakit, tapi ketika sadar malah pria itu yang ditanyakannya.

"Ka, dimana Abytra?" desak Azel.

Kafka menatap mata Azel, lalu menjawab, "Sedang dirawat di kamar lain. Babak belur. Gue hajar."

"Lo apain?"

"Gue hajar. Gue gebukin. Karena dia nyakitin lo."

***

Shotgun WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang