#25: Keluarga

15.8K 1.1K 60
                                        

Pagi-pagi sekali Abytra sudah siap dengan setelan kantor. Hari ini ia memutuskan untuk kembali bekerja. Sudah cukup satu hari ia istirahat. Kondisi tubuhnya membaik dengan cepat. Untuk itu ia merasa sangat bersyukur, karena tidak perlu terlalu lama terlihat lemah.

Suara derit pintu membuat Abytra yang berdiri di depan cermin--ingin memasang dasi--menoleh. Ia melihat Azel masuk membawa nampan. Aroma kopi memenuhi isi kamar dan sampai ke indera penciuman Abytra.

"Aku bawakan sarapan untukmu," kata Azel sambil meletakkan nampan di atas meja nakas." Lalu saat melihat Abytra berdiri dengan dasi di tangan, Azel menambahkan, "Biar aku yang pasangkan."

Azel mendekati Abytra, lalu mengambil alih dasi di tangan pria itu. Sementara Abytra hanya menatap Azel dengan ekpresi bingung. Sama sekali tidak mengerti dengan sikap Azel. Oke, kemarin ia tahu gadis itu merawatnya cukup baik selama sakit. Tapi, memasang dasi adalah sesuatu hal lain. ini terlalu intim. Dan, ia hapal betul gadis di hadapannya saat ini sama sekali tidak pernah melakukan hal yang intim bersamanya, meski mereka sudah menyandang status suami-istri.

"Kamu terlalu tinggi. Sepertinya aku butuh kursi." Azel menarik kursi rias di dekatnya, lalu menaikinya. Kini wajah mereka sejajar dan berhadapan dalam jarak yang begitu dekat. Abytra bisa mencium aroma harum apel dari rambut Azel.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Abytra dengan suara serak.

Gerakan tangan Azel menyimpul dasi terhenti. Beberapa saat gadis itu terdiam, lalu mengela napas. Ketika ia mengangkat wajah, tatapannya terkunci pada mata hitam milik Abytra.

"Aku melakukan apa yang seharusnya seorang istri lakukan untuk suaminya." Lalu, Azel kembali menyimpul dasi. Setelah semua selesai, Azel menepuk-nepuk pelan dada Abytra. "Nah selesai."

Azel turun dari kursi. Tapi gerakannya kurang hati-hati. Keseimbangan tubuhnya goyang. Sebelum gadis itu terjatuh, Abytra memegang pinggang pinggang Azel secara refleks, menahan tubuh gadis itu terguling ke lantai.

"Dasar bodoh!" umpat Abytra dengan napas tersengal. "Kalau kau terjatuh bagaimana?"

Azel memegang bahu Abytra, lalu turun dengan hati-hati. Wajahnya pucat. Azel tidak bisa sanggup membayangkan kalau tadi Abytra terlambat menahan tubuhnya.

"Maaf," bisik Azel lirih setelah kakinya menginjak lantai dan mundur satu langkah. Secara impulsif tangannya memeluk perut, memastikan kandungannya baik-baik saja.

Tatapan Abytra jatuh pada perut Azel, lalu pria itu mengesah. Tangan kanannya menyugar rambut, berusaha mengendalikan diri. Entah kenapa, untuk sesaat tadi, ia merasa takut terjadi sesuatu pada Azel. Perasaan ganjil yang sama sekali tidak ia mengerti.

"Lain kali jangan pernah lakukan itu lagi," kata Abytra sambil melewati Azel. Pria itu mengambil jas di atas ranjang lalu melangkahkan kaki keluar kamar.

"Sarapan dulu," pinta Azel membuat langkah Abytra terhenti. "Kamu tidak boleh pergi dengan perut kosong."

Sekali lagi Abytra mendesah. Tapi, ia tidak mengucapkan apa-apa. Ia memilih untuk pergi.

Saat di luar kamar, Abytra bertemu Kafka yang berdiri tidak jauh dari pintu kamar. Cowok berusia enam belas tahun itu menatapnya tajam. Abytra membalasnya dengan senyum meremehkan.

"Ada tikus kecil yang mencuri-dengar ternyata," cemooh Abytra.

Kedua tangan Kafka terkepal kuat. "Lo ...," semburan kemarahan Kafka tertahan di ujung lidah saat seseorang menyela.

"Kafka." Ternyata itu Azel. Gadis itu membawa nampan yang di atasnya terdapat secangkir kopi dan setangkup roti yang sama masih utuh.

Tatapan Kafka tertuju pada nampan yang dibawa Azel, lalu berpindah ke wajah saudaranya itu.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Kafka khawatir.

Azel tersenyum kecil dan mengangguk. "Lo mau ke sekolah?"

Pertanyaan bodoh, bisik Azel dalam hati. Dengan seragam tentu saja Kafka ingin ke sekolah. Tapi, Azel tidak bisa menyembunyikan nada sedih dibalik pertanyaannya itu. Azel merindukan sekolahnya.

Sebelum Kafka menjawab, Abytra mengeluarkan desahan panjang yang menjengkelkan. Lelaki itu berdecak dengan suara keras, lalu pergi meninggalkan Azel dan Kafka.

Sebanarnya Kafka ingin mengejar Abytra dan melayangkan tinju ke wajah menyebalkan pria tersebut. Sungguh, buku-buku jari Kafka sudah sangat gatal ingin melakukan itu. Tapi, ia tidak bisa menghajar pria itu di depan Azel. Ia tidak ingin tindakannya itu dapat memicu pertengkaran, padahal ia dan Azel baru-baru ini berdamai.

"Biar gue yang bawa itu ke dapur," kata Kafka kemudian, menunjuk nampan di tangan Azel. "Lo nggak boleh kecapekan."

Azel membiarkan Kafka mengambil alih nampan di tangannya. Lalu, gadis itu tersenyum kecil, "Thanks," ucapnya.

"Sekarang lo istirahat lagi."

Azel mengangguk. Lalu gadis itu berbalik ke arah pintu kamar. Tangannya sudah memegang handle pintu, tapi tiba-tiba ia menoleh dan bertanya, "Ka, lo nggak malu punya saudara seperti gue?"

Kening Kafka mengernyit. "Malu? Untuk apa?"

Azel menunduk. Tangannya mengusap-usap perut. "Karena gue hamil di luar nikah."

Suasana hening sejenak. Kafka tidak langsung menjawab. Azel pun tak lagi bersuara. Yang terdengar hanya helaan napas mereka masing-masing.

"Lo emang salah. Tapi, gue juga tau lo udah menanggung semua akibat dari kesalahan lo itu. Ini pasti sangat sulit bagi lo. Masalah malu, itu bukan apa-apa. Terpenting saat ini lo berani tanggung jawab untuk kesalahan yang lo perbuat. Dan itu bikin gue salut.

"Seperti yang pernah gue bilang, kita ini saudara. Sebagai saudara seharusnya saling mendukung, kan? Mungkin saat ini lo yang lagi di posisi terpuruk. Tapi, di depan bisa aja gue yang ngalamin hal yang menyakitkan. Dan di saat itu terjadi, gue berharap gue nggak dibiarkan sendirian. Gue harap lo ada di dekat gue. Mendukung gue."

Azel merasa sudut matanya terasa panas dan pedih. Lalu, air mata mengalir membasahi pipinya yang mulus. Azel mendesah dan mengusap air mata dengan punggung tangannya.

"Pagi-pagi lo udah buat gue nangis," bisik Azel dengan suara serak dan lirih.

Kafka maju mendekat. Dengan tangannya yang bebas, ia mengusap air mata di pipi Azel. "Lo pasti bisa ngelewatin ini semua karena gue tahu lo kuat."

Azel mendongak. Ia menemkan ketulusan di mata adik tirinya itu. Sungguh Azel merasa terharu. Tidak menyangka Kafka bisa sedewasa ini. Lalu, Azel mengangguk dan tersenyum. Kafka pun membalasnya.

Ternyata benar, sesulit apa pun hidup, keluarga adalah tempat terbaik untuk mengadu dan berbagi. Sebab, keluarga tidak akan pernah meninggalkanmu terpuruk sendirian. Keluarga akan selalu berada di sana, mengulurkan tangan, untuk membantumu keluar dari kesulitan.

"Gue senang Tuhan memberi gue kesempatan punya adik seperti lo," bisik Azel.

Kafka mengangguk. "Gue juga."

***

Halo semua. Tumben aku update pagi, ya. Mumpung lagi libur jadi punya banyak waktu. Makasih ya Tuhan.

Nah yang kemarin pengin adegan Azel-Abytra, gimana? Ini udah cukup belum? Kalo belum, ditunggu aja, ya. Ntar pasti dibanyakin kok adegan-adegan kebersamaan mereka.

Yaudah. Sampai ketemu lagi di update selanjutnya. Mohon kesudian buat ninggalin votenya. Makasih.

Bubay

Kamal Agusta

Shotgun WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang