Abytra dan Maura berada di dalam salah satu resto yang berada di tepi jalan raya. Resto itu bergaya minimalis dengan jendela-jendela besar persegi, dan dinding berwarna putih bersih. Sofa-sofa empuk berwarna coklat kayu dengan meja persegi panjang berwarna senada tersusun rapi. Alunan musik instrumental yang mendayu dan menenangkan membuat suasana resto tenang dan nyaman.
"Kau terlihat sedang banyak pikiran," kata Maura memecah keheningan yang tercipta di antara mereka sejak pramusaji mengantarkan pesanan.
Abytra mendongak lalu tersenyum tipis. "Bukan apa-apa," jawabnya singkat.
Namun Maura tidak begitu saja percaya. Wanita itu terlalu mengenal Abytra. Saat ini ia tahu Abytra berbohong. Ada sesuatu yang disembunyikan kekasihnya itu.
"Kau pembohong yang payah."
Abytra terkekeh pelan mendengar sindiran Maura. Di hadapan Maura ia adalah pembohong yang payah. Maura selalu tahu kapan ia menyembunyikan sesuatu. Tapi meskipun begitu, untuk kali ini Abytra memilih untuk menyimpannya. Ia tidak tahu harus memulainya dari mana.
"Baiklah, sepertinya kau memang sedang tidak ingin bercerita. Aku tidak akan memaksa."
Abytra mengulurkan tangannya dan meraih jemari Maura yang berada di atas meja, lalu menggenggamnya.
"Thanks," ucapnya.
Maura tersenyum dan mengangguk, "Aku mengerti." Maura membalas genggaman Abytra. Lalu, "Kalau kau sudah siap, kau tahu kemana harus mencari aku."
Abytra mengangguk. Pasti. Ia selalu tahu kemana harus mencari Maura disaat dirinya ingin berbagi.
"Omong-omong bagaimana rencana kita? Kau sudah memulainya?"
Kilasan kejadian beberapa hari lalu kembali menyerbu Abytra. Figur Azel yang bersimpuh di lantai dengan bahu berguncang dan pipi basah oleh air mata, seperti potongan film yang diputar oleh otaknya. Abytra mengesah saat rongga dadanya terasa menyempit.
"Apa tidak sesuai dengan rencana?" terka Maura saat melihat gelagat Abytra.
Abytra tidak langsung menjawab. Ia sendiri tidak tahu apakah rencana ini sudah berjalan dengan semestinya atau tidak. Tapi, saat ia menatap Maura, ia tahu wanita itu masih menunggu jawabannya.
Abytra memaksakan senyum, lalu menggeleng. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua berjalan baik-baik saja sampai saat ini," jawab Abytra pada akhirnya.
"Kau yakin?"
Entahlah. Ingin rasanya Abytra menjawab itu. Sebab dirinya pun tidak yakin dengan apa yang ia rasakan saat ini. Tapi, ia tidak ingin membuat wanita yang selamat ini terus bersama dan mendukungnya menjadi khawatir. Pada akhirnya, Abytra memilih jawaban yang teraman baginya.
"Ya, semua baik-baik saja."
***
Sore itu Azel pergi ke dokter kandungan. Sebenarnya Mama yang akan menemani karena dokter kandungan yang akan mereka datangi adalah salah satu kenalan Mama. Namun, sejak pagi kondisi Mama sedang tidak fit. Badannya meriang dan kepalanya pening. Mama tidak sanggup untuk mengemudi mobil. Karena sudah terlanjur membuat janji temu, dan merasa tidak enak jika membatalkan, akhirnya Azel minta bantuan Kafka.
"Mama sakit. Nggak bisa nganterin gue. Lo bisa kan?" Tanyanya saat Kafka baru pulang sekolah.
"Jam berapa?" Respon Kafka sambil menenteng sepatunya dan meletakan di rak. "Kalo gue makan dan ganti baju dulu masih sempat?"
Azel melihat jam. Masih jam tiga sore. Ia janji jam empat. Masih ada sejam lagi. Perjalanan dari sini ke klinik dokter cuma memakan waktu kurang lebih dua puluh menit.
Azel mengangguk. "Setengah jam lagi bisa?"
Kafka tersenyum dan menjawab, "Oke."
"Gue ke kamar dulu," kata Azel kemudian dan berbalik pergi. Tapi baru beberapa langkah, Azel berhenti dan menoleh ke belakang saat mendengar Kafka memanggil namanya.
"Lo baik-baik aja, kan?"
Sejak Azel menerima keadaannya, perasaannya sudah menjadi lebih baik. Memang benar, terkadang yang kita butuhkan untuk merasa lebih baik hanya dengan menerima apa yang terjadi. Merutukinya, tidak akan membuat keadaan berubah. Yang harus dilakukan adalah bertanggung jawab dengan kesalahan yang telah ia perbuat.
Untuk pertama kalinya Azel tersenyum pada Kafka. Lalu gadis itu mengangguk. Semua baik-baik aja, bisik Azel dalam hati. Dan ia berharap memang itu yang terjadi.
Di sinilah meraka berada sekarang, di dalam mobil menuju klinik dokter kandungan kenalan Mama. Tadi Mama sudah menelepon Dokter Rita, nama dokter kandungan itu, mengabarkan bahwa Azel datang tanpa dirinya.
Selama di perjalanan mereka tidak berbicara. Kafka fokus pada kemudi dan jalanan di depan. Sementara Azel menatap keluar jendela dengan tangan terus mengusap perutnya. Hanya suara penyiar radio yang berceloteh mengisi keheningan di antara mereka.
"Di sini tempatnya?" Akhirnya Kafka bersuara saat mobil menepi di depan sebuah klinik.
Azel melihat papan nama dan mengangguk. Memang ini tempatnya. Sesuai yang dibilang Mama.
Azel memejamkan mata sejenak. Menarik napas dalam-dalam. Bagaimanapun ini pertama kalinya ia berkonsultasi mengenai kehamilannya dengan dokter kandungan. Dan tentu saja hal itu cukup mendebarkan.
"Lo siap?"
Azel membuka mata. Lalu mengangguk. Meski sedikit takut, ia sudah siap menghadapi ini semua. Demi dirinya. Juga janin yang hidup dan tumbuh di dalam rahimnya.
***Azel tidak pernah menyangka dirinya akan jatuh cinta lagi, meski baru saja dikhianati. Dadanya terasa penuh oleh getaran-getaran aneh namun menyenangkan. Tapi, ini bukan perasaan cinta pada seorang pria. Azel jatuh cinta pada bayi yang ada di dalam perutnya.
Hasil cek-up tadi sore mengatakan bahwa kandungan Azel baik-baik saja. Tidak ada suatu hal yang mengkhawatirkan. Dokter Rita hanya menyarankan agar Azel banyak makan makanan bernutrusi tinggi demi perkembangan janinnya. Juga jangan stres dan perbanyak istirahat dan olahraga ringan. Kabar baik itu tentu saja membuat Azel lega.
Dan malam ini, di dalam kamarnya, Azel terus memandang selembar foto hasil USG. Memang, di foto itu janin belum berbentuk sempurna. Tapi, Azel tidak bisa mengalihkan tatapannya. Dan menghentikan senyum di bibir.
Karena selembar foto itu menggambarkan awal kehidupan dari bayi yang dikandungnya.
Azel mengusap perutnya. Dalam hati berharap agar kandungannya akan terus baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shotgun Wedding
Roman d'amourUPDATE TIAP HARI!!! High Rank #28 (31/03/2018) "Aku ingin membencimu. Tapi, yang terjadi, aku malah semakin jauh jatuh cinta kepadamu." Hanya demi kenikmatan sesaat, Azel kehilangan masa remajanya dan mengorbankan masa depannya. Sekarang Azel harus...